LAPORAN PENDAHULUAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Minggu, 08 Desember 2013

A.    PENGERTIAN  ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Acut limphosityc leukemia adalah proliferasi maligna / ganas limphoblast dalam sumsum tulang yang disebabkan oleh sel inti tunggal yang dapat bersifat sistemik. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Tucker, 1997; Reeves & Lockart, 2002).

B.     PENYEBAB ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Penyebab acut limphosityc leukemia sampai saat ini belum jelas, diduga kemungkinan karena virus (virus onkogenik) dan faktor lain yang mungkin berperan, yaitu:
1.      Faktor eksogen
a.       Sinar x, sinar radioaktif.
b.      Hormon.
c.       Bahan kimia seperti: bensol, arsen, preparat sulfat, chloramphinecol, anti neoplastic agent).
2.      Faktor endogen
a.       Ras (orang Yahudi lebih mudah terkena dibanding orang kulit hitam)
b.      Kongenital (kelainan kromosom, terutama pada anak dengan Sindrom Down).
c.       Herediter (kakak beradik atau kembar satu telur).
(Ngastiyah, 1997)

C.    PATOFISIOLOGI ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).

D.    TANDA DAN GEJALA ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Manifestasi klinik dari acut limphosityc leukemia antara lain:
  1. Pilek tak sembuh-sembuh
  2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi
  3. Demam, anoreksia, mual, muntah
  4. Berat badan menurun
  5. Ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi, memar tanpa sebab
  6. Nyeri tulang dan persendian
  7. Nyeri abdomen
  8. Hepatosplenomegali, limfadenopati
  9. Abnormalitas WBC
  10. Nyeri kepala
E.     PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK PADA ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Pemeriksaan diagnostik yang lazim dilakukan pada anak dengan acut limphosityc leukemia adalah:
  1. Pemeriksaan sumsum tulang (BMP / Bone Marrow Punction):
a.       Ditemukan sel blast yang berlebihan
b.      Peningkatan protein
  1. Pemeriksaan darah tepi
a.       Pansitopenia (anemia, lekopenia, trombositopneia)
b.      Peningkatan asam urat serum
c.       Peningkatan tembaga (Cu) serum
d.      Penurunan kadar Zink (Zn)
e.       Peningkatan leukosit dapat terjadi (20.000 – 200.000 / ยตl) tetapi dalam bentuk sel blast / sel primitif
  1. Biopsi hati, limpa, ginjal, tulang untuk mengkaji keterlibatan / infiltrasi sel kanker ke organ tersebut
  2. Fotothorax untuk mengkaji keterlibatan mediastinum
  3. Sitogenik:
50-60% dari pasien ALL dan AML mempunyai kelainan berupa:
a.       Kelainan jumlah kromosom, seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a)
b.      Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial delection)
c.       Terdapat marker kromosom, yaitu elemen yang secara morfologis bukan komponen kromosom normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat  kecil

F.     PENGOBATAN PADA ALL
1.      Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberi­kan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda‑tanda DIC dapat dibe­rikan heparin.
2.      Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhir­nya dihentikan.
3.      Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6‑merkaptopurin atau 6‑mp, metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L‑asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriami­sin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama‑sama dengan prednison. Pada pemberian obat‑obatan ini sering terdapat akibat samping beru­pa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti‑hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3.
4.      Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci hama).
5.      Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah ter­capai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 ‑ 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyunti­kan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna.
6.      Cara pengobatan.
Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalaman­nya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut:
a.       Induksi
Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berba­gai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sam­pai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.
b.      Konsolidasi
Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
c.       Rumat (maintenance)
Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat‑dapatnya suatu masa remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis biasa.
d.      Reinduksi
Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3‑6 bulan dengan pemberian obat‑obat seperti pada induksi se­lama 10‑14 hari.
e.       Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat.
Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.400­2.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia sereb­ral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
f.       Pengobatan imunologik
Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna.
(FKUI, 1985)

G.    PATHWAYS

Proliferasi sel kanker
                                                           
Sel kanker bersaing dengan sel normal
Untuk mendapatkan nutrisi

  Infiltrasi


 
   Sel normal digantikan dengan
 Sel kanker

Depresi sumsum                    metabolisme      infiltrasi             infiltrasi
         Tulang                                                             S S P             ekstra medular

 
                                                   Sel kekurangan   meningitis     pembesaran limpa,
                                                        makanan         leukemia         liver,nodus limfe,                                                                                                            tulang         
Eritrosit leukosit      faktor          tekanan       
                           Pembekuan      jaringan        nyeri tulang                 tulang
                                                                        & persendian               mengecil&
Anemia infeksi     perdarahan                                                             lemah


            Demam    trombositopeni                                                        fraktur
                                                                                                            fisiologis                                                                           












H.    MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL PADA ANAK DENGAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
Adanya keganasan menimbulkan masalah keperawatan, antara lain:
1.      Intoleransi aktivitas
2.      Resiko tinggi infeksi
3.      Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuahn
4.      Resiko cedera (perdarahan)
5.      Resiko kerusakan integritas kulit
6.      Nyeri
7.      Resiko kekurangan volume cairan
8.      Berduka
9.      Kurang pengetahuan
10.  Perubahan proses keluarga
11.  Gangguan citra diri / gambaran diri

I.       PERAWATAN PADA ANAK DENGAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA
1.      Mengatasi keletihan / intoleransi aktivitas:
a.       Kaji adanya tanda-tanda anemia: pucat, peka rangsang, cepat lelah, kadar Hb rendah.
b.      Pantau hitung darah lengkap dan hitung jenis
c.       Berikan cukup istirahat dan tidur tanpa gangguan
d.      Minimalkan kegelisahan dan anjurkan bermain yang tenang
e.       Bantu pasien dalam aktivitas sehari-hari
f.       Pantau frekuensi nadi, prnafasan, sebelum dan selama aktivitas
g.      Ketika kondisi membaik, dorong aktivitas sesuai toleransi
h.      Jika diprogramkan, berikan packed RBC
2.      Mencegah terjadinya infeksi
a.       Observasi adanya tanda-tanda infeksi, pantau suhu badan laporkan jika suhu > 38oC yang berlangsung > 24 jam, menggigil dan nadi > 100 x / menit.
b.      Sadari bahwa ketika hitung neutrofil menurun (neutropenia), resiko infeksi meningkat, maka:
1).    Tampatkan pasien dalam ruangan khusus
2).    Sebelum merawat pasien: cuci tangan dan memakai pakaian pelindung, masker dan sarung tangan.
3).    Cegah komtak dengan individu yang terinfeksi
c.       Jaga lingkungan tetap bersih, batasi tindakan invasif
d.      Bantu ambulasi jika mungkin (membalik, batuk, nafas dalam)
e.       Lakukan higiene oral dan perawatan perineal secara sering.
f.       Pantau masukan dan haluaran serta pertahankan hidarasi yang adekuat dengan minum 3 liter / hari
g.      Berika terapi antibiotik dan tranfusi granulosit jika diprogramkan
h.      Yakinkan pemberian makanan yang bergizi.
3.      Mencegah cidera (perdarahan)
a.       Observasi adanya tanda-tanda perdarahan dengan inspeksi kulit, mulut, hidung, urine, feses, muntahan, dan lokasi infus.
b.      Pantau tanda vital dan nilai trombosit
c.       Hindari injesi intravena dan intramuskuler seminimal mungkin  dan tekan 5-10 menit setiap kali menyuntik
d.      Gunakan sikat gigi yang lebut dan lunak
e.       Hindari pengambilan temperatur rektal, pengobatan rekatl dan enema
f.       Hindari aktivitas yang dapat menyebabkan cidera fisik atau mainan yang dapat melukai kulit.
4.      Memberikan nutrisi yang adekuat
a.       Kaji jumlah makanan dan cairan yang ditoleransi pasien
b.      Berikan kebersihan oral sebelum dan sesudah  makan
c.       Hindari bau, parfum, tindakan yang tidak menyenangkan, gangguan pandangan dan bunyi
d.      Ubah pola makan, berikan makanan ringan dan sering, libatkan pasien dalam memilih makanan yang bergizi tinggi, timbang BB tiap hari
e.       Sajikan makanan dalam suhu dingin / hangat
f.       Pantau masukan makanan, bila jumlah kurang berikan ciran parenteral dan NPT yang diprogramkan.

5.      Mencegah kekurangan cairan
a.       Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi
b.      Berikan antiemetik awal sebelum pemberian kemoterapi
c.       Hindari pemberian makanan dan minuman yang baunya merangngsang mual / muntah
d.      Anjurkan minum dalam porsi kecil dan sering
e.       Kolaborasi pemberian cairan parenteral untuk mempertahankan hidrasi sesuai indikasi
6.      Antisipasi berduka
a.       Kaji tahapan berduka oada anak dan keluarga
b.      Berikan dukungan pada respon adaptif dan rubah respon maladaptif
c.       Luangkan waktu bersama anak untuk memberi kesempatan express feeling
d.      Fasilitasi express feeling melalui permainan
7.      Memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga tentang:
a.       Proses penyakit leukemia: gejala, pentingnya pengobatan / perawatan.
b.      Komplikasi penyakit leukemia: perdarahan, infeksi dll.
c.       Aktivitas dan latihan sesuai toleransi
d.      Mengatasi kecemasan
e.       Pemberian nutrisi
f.       Pengobatan dan efek samping pengobatan
8.      Meningkatkan peran keluarga
a.       Jelaskan alasan dilakukannya setiap prosedur pengobatan / dianostik
b.      Jadwalkan waktu bagi keluarga bersama anak tanpa diganggu oleh staf SR
c.       Dorong keluarga untuk express feelings
d.      Libatkan keluarga dalam perencanaan dan pelaksanaan perawatan si anak
9.      Mencegah gangguan citra diri / gambaran diri
a.       Dorong pasien untuk express feelings tentang dirinya
b.      Berikan informasi yang mendukung pasien ( misal; rambut akan tumbuh kembali, berat badan akan kembali naik jika terapi selesai dll.)
c.       Dukung interaksi sosial / peer group
d.      Sarankan pemakaian wig, topi / penutup kepala.
  
DAFTAR PUSTAKA

1.      Betz, Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. Jakarta, EGC.
2.      Suriadi, Yuliani R. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. Jakarta, CV Sagung Seto.
3.      Reeeves, Lockart. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Cetakan I. Jakarta, Salemba Raya.
4.      FKUI. (1985). Ilmu Kesehatan Anak. Volume 1. Jakarta, FKUI.
5.      Sacharin Rosa M. (1993). Prinsip Perawatan Pediatri. Edisi 2. Jakarta : EGC.
6.      Gale Danielle, Charette Jane. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, Jakarta : EGC.
7.      Price Sylvia A, Wilson Lorraine Mc Cart .(1995). Patofisiologi. Jakarta : EGC
8.      Sutarni Nani.(2003). Prosedur Dan Cara Pemberian Obat Kemoterapi. Disampaikan Pada Pelatihan Kemoterapi Di RS Kariadi Semarang, Tanggal 13-15 November 2003.



READ MORE - LAPORAN PENDAHULUAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TUMOR RONGGA HIDUNG

Selasa, 10 September 2013

1. Definisi:  Semua tumor jinak maupun ganas yang terdapat pada rongga hidung. 2. Klasifikasi Histopatologi: a. Tumor jinak: • Dari jaringan lunak : fibroma, neurofibroma, meningioma • Dari jaringan tulang : osteoma, giant cell tumor, displasia fibrosa/ossifying fibrome. • Odontogenik : kista-isata gigi, ameloblastoma. b. Tumor pra ganas: • Inverted papilloma c. Tumor ganas: • Dari epitel : karsinoma sel skuamosa, limfoepitelioma, karsinoma sel basal, silindroma dsb. • Dari jaringan ikat : fibrisarkoma, rabdomiosarkoma. • Dari jaringan tulang/tulang rawan: osteosarkoma, kondrosarkoma. 3. Gejala Klinis: Gejala dini tidak khas, pada stadium lanjut tergantung asal tumor dan arah perluasannya. Gejala hidung:  Buntu hidung unilateral dan progresif.  Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.  Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.  Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan kemungkinan keganasan.  Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus, sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi tumor ganas. Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor seperti:  Pembengkakan pipi  Pembengkakan palatum durum  Geraham atas goyah, maloklusi gigi  Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita. 4. Diagnosis:  Anamnesis yang cermat terhadap gejala klinis.  Pemeriksaan: - Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, geraham dan palatum - Palpasi tumor yang tampak dan kelenjar leher - Rinoskopi anterior untuk menilai tumor dalam rongga hidung - Rinoskopi posterior untuk melihat ekstensi ke nasofaring - Pemeriksaan THT lainnya menurut keperluan.  Pemeriksaan penunjang: - Foto sinar X: o WATER (untuk melihat perluasan tumor di dalam sinus maksilaris dan sinus frontal) o Tengkorak lateral ( untuk melihat ekstensi ke fosa kranii anterior/medial) o RHEZZE (untuk melihat foramen optikum dan dinding orbita) o CT Scan (bila diperlukan dan fasilitas tersedia) - Biopsi: o Biopsi dengan forsep (Blakesley) dilakukan pada tumor yang tampak. Tumor dalam sinus maksilaris dibiopsi dngan pungsi melalui meatus nasi inferior. Bila perlu dapat dilakukan biopsi dengan pendekatan Caldwell-Luc. Tumor yang tidak mungkin/sulit dibiopsi langsung dilakukan operasi. Untuk kecurigaan terhadap keganasan bila perlu dilakukan potong beku untuk diperiksa lebih lanjut. 5. Terapi:  Tumor jinak: Terapi pilihan adalah pembedahan dengan pendekatan antara lain: 1) Rinotomi lateral 2) Caldwell-Luc 3) Pendekatan trans-palatal  Tumor ganas: 1) Pembedahan: o Reseksi:  Rinotomi lateral  Maksilektomi partial/total (kombinasi eksenterasi orbita atau dengan kombinasi deseksi leher radikal) o Paliatif: mengurangi besar tumor (debulking) sebelum radiasi. 2) Radiasi: o Dilakukan bila operasi kurang radikal atau residif o Pra bedah pada tumor yang radio sensitif (mis. Karsinoma Anaplastik, undifferentiated) 3) Kemoterapi: o Dilakukan atas indikasi tertentu (mis. Tumor sangat besar/inoperable, metastasis jauh, kombinasi dengan radiasi) II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 1. PENGKAJIAN a. Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik: Gejala-gejala khas tergantung ukuran tumor, kegansan dan stadium penyakit, antara lain: Gejala hidung:  Buntu hidung unilateral dan progresif.  Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.  Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.  Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan kemungkinan keganasan.  Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus, sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi tumor ganas. Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor seperti:  Pembengkakan pipi  Pembengkakan palatum durum  Geraham atas goyah, maloklusi gigi  Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita. Pada tumor ganas didapati gejala sistemik:  Penurunan berat badan lebih dari 10 %  Kelelahan/malaise umum  Napsu makan berkurang (anoreksia) Pada pemeriksaan fisik didapatkan:  Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, geraham dan palatum: didapatkan pembengkakan sesuai lokasi pertumbuhan tumor  Palpasi, teraba tumor dan pembesaran kelenjar leher b. Pengkajian Diagnostik:  Rinoskopi anterior untuk menilai tumor dalam rongga hidung  Rinoskopi posterior untuk melihat ekstensi ke nasofaring  Foto sinar X: - WATER (untuk melihat perluasan tumor di dalam sinus maksilaris dan sinus frontal) - Tengkorak lateral ( untuk melihat ekstensi ke fosa kranii anterior/medial) - RHEZZE (untuk melihat foramen optikum dan dinding orbita) - CT Scan (bila diperlukan dan fasilitas tersedia)  Biopsi: - Biopsi dengan forsep (Blakesley) dilakukan pada tumor yang tampak. Tumor dalam sinus maksilaris dibiopsi dngan pungsi melalui meatus nasi inferior. Bila perlu dapat dilakukan biopsi dengan pendekatan Caldwell-Luc. Tumor yang tidak mungkin/sulit dibiopsi langsung dilakukan operasi. Untuk kecurigaan terhadap keganasan bila perlu dilakukan potong beku untuk diperiksa lebih lanjut. 2. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI 1) Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan status kesehatan-sosial-ekonomik, perubahan fungsi-peran, perubahan interaksi sosial, ancaman kematian, perpisahan dari keluarga. INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL 1. Orientasikan klien dan orang terdekat terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan. 2. Eksplorasi kecemasan klien dan berikan umpan balik. 3. Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang lazim dialami oleh banyak orang dalam situasi klien saat ini. 4. Ijinkan klien ditemani keluarga (significant others) selama fase kecemasan dan pertahankan ketenangan lingkungan. 5. Kolaborasi pemberian obat sedatif. 6. Pantau dan catat respon verbal dan non verbal klien yang menunjukan kecemasan. RASIONAL 1. Informasi yang tepat tentang situasi yang dihadapi klien dapat menurunkan kecemasan/rasa asing terhadap lingkungan sekitar dan membantu klien mengantisipasi dan menerima situasi yang terjadi. 2. Mengidentifikasi faktor pencetus/pemberat masalah kecemasan dan menawarkan solusi yang dapat dilakukan klien. 3. Menunjukkan bahwa kecemasan adalah wajar dan tidak hanya dialami oleh klien satu-satunya dengan harapan klien dapat memahami dan menerima keadaanya. 4. Memobilisasi sistem pendukung, mencegah perasaan terisolasi dan menurunkan kecemsan. 5. Menurunkan kecemasan, memudahkan istirahat. 6. Menilai perkembangan masalah klien. 2) Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat keganasan, efek-efek radioterapi/kemoterapi. INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL 1. Diskusikan dengan klien dan keluarga pengaruh diagnosis dan terapi terhadap kehidupan pribadi klien dan aktiviats kerja. 2. Jelaskan efek samping dari pembedahan, radiasi dan kemoterapi yang perlu diantisipasi klien 3. Diskusikan tentang upaya pemecahan masalah perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat berkaitan dengan penyakitnya. 4. Terima kesulitan adaptasi klien terhadap masalah yang dihadapinya dan informasikan kemungkinan perlunya konseling psikologis 5. Evaluasi support sistem yang dapat membantu klien (keluarga, kerabat, organisasi sosial, tokoh spiritual) 6. Evaluasi gejala keputusasaan, tidak berdaya, penolakan terapi dan perasaan tidak berharga yang menunjukkan gangguan harga diri klien. RASIONAL 1. Membantu klien dan keluarga memahami masalah yang dihadapinya sebagai langkah awal proses pemecahan masalah. 2. Efek terapi yang diantisipasi lebih memudahkan proses adaptasi klien terhadap masalah yang mungkin timbul. 3. Perubahan status kesehatan yang membawa perubahan status sosial-ekonomi-fungsi-peran merupakan masalah yang sering terjadi pada klien keganasan. 4. Menginformasikan alternatif konseling profesional yang mungkin dapat ditempuh dalam penyelesaian masalah klien. 5. Mengidentifikasi sumber-sumber pendukung yang mungkin dapat dimanfaatkan dalam meringankan masalah klien. 6. Menilai perkembangan masalah klien. 3) Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi. INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL 1. Lakukan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, masase punggung) dan pertahankan aktivitas hiburan (koran, radio) 2. Ajarkan kepada klien manajemen penatalaksanaan nyeri (teknik relaksasi, napas dalam, visualisasi, bimbingan imajinasi) 3. Berikan analgetik sesuai program terapi. 4. Evaluasi keluhan nyeri (skala, lokasi, frekuensi, durasi) RASIONAL 1. Meningkatkan relaksasi dan mengalihkan fokus perhatian klien dari nyeri. 2. Meningkatkan partisipasi klien secara aktif dalam pemecahan masalah dan meningkatkan rasa kontrol diri/keman-dirian. 3. Analgetik mengurangi respon nyeri. 4. Menilai perkembangan masalah klien. 4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status metabolik akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi dan distres emosional. INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL 1. Dorong klien untuk meningkatkan asupan nutrisi (tinggi kalori tinggi protein) dan asupan cairan yang adekuat. 2. Kolaborasi dengan tim gizi untuk menetapkan program diet pemulihan bagi klien. 3. Berikan obat anti emetik dan roborans sesuai program terapi. 4. Dampingi klien pada saat makan, identifikasi keluhan klien tentang makan yang disajikan. 5. Timbang berat badan dan ketebalan lipatan kulit trisep (ukuran antropometrik lainnya) sekali seminggu 6. Kaji hasil pemeriksaan laboratorium (Hb, limfosit total, transferin serum, albumin serum) RASIONAL 1. Asupan nutrisi dan cairan yang adekuat diperlukan untuk mengimbangi status hipermetabolik pada klien dengan keganasan. 2. Kebutuhan nutrisi perlu diprogramkan secara individual dengan melibatkan klien dan tim gizi bila diperlukan. 3. Anti emetik diberikan bila klien mengalami mual dan roborans mungkin diperlukan untuk meningkatkan napsu makan dan membantu proses metabolisme. 4. Mencegah masalah kekurangan asupan yang disebabkan oleh diet yang disajikan. 5. Menilai perkembangan masalah klien. 6. Menilai perkembangan masalah klien. 5) Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek imunosupresi radioterapi/kemoterapi INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL 1. Tekankan penting oral hygiene. 2. Ajarkan teknik mencuci tangan kepada klien dan keluarga, tekankan untuk menghindari mengorek/me-nyentuh area luka pada rongga hidung (area operasi). 3. Kaji hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan penurunana fungsi pertahanan tubuh (lekosit, eritrosit, trombosit, Hb, albumin plasma) 4. Berikan antibiotik sesuai dengan program terapi. 5. Tekankan pentingnya asupan nutrisi kaya protein sehubungan dengan penurunan daya tahan tubuh. 6. Kaji tanda-tanda vital dan gejala/tanda infeksi pada seluruh sistem tubuh. RASIONAL 1. Infeksi pada cavum nasi dapat bersumber dari ketidakadekuatan oral hygiene. 2. Mengajarkan upaya preventif untuk menghindari infeksi sekunder. 3. Menilai perkembagan imunitas seluler/ humoral. 4. Antibiotik digunakan untuk mengatasi infeksi atau diberikan secara profilaksis pada pasien dengan risiko infeksi. 5. Protein diperlukan sebagai prekusor pembentukan asam amino penyusun antibodi. 6. Efek imunosupresif terapi radiasi dan kemoterapi dapat mempermudah timbulnya infeksi lokal dan sistemik. DAFTAR PUSTAKA Adams at al (1997), Buku Ajar Penyakit THT, Ed. 6, EGC, Jakarta Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta Tim RSUD Dr. Soetomo (1994), Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit THT, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta
READ MORE - ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TUMOR RONGGA HIDUNG

LAPORAN PENDAHULUAN HIRSCHPRUNG

Rabu, 08 Mei 2013

A. Pengertian 1. Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily & Sowden : 2000 ). 2. Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir  3 Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan. ( Arief Mansjoeer, 2000 ). 3. Hirschprung adalah penyakit akibat tidak adanya sel –sel ganglion di dalam usus yang terbentang ke arah proksimal mulai dari anus hingga jarak tertentu. (Behrman & vaughan,1992:426) 4. Hirschprung adalah aganglionosis ditandai dengan tidak terdapatnya neuron mienterikus dalam sengmen kolon distal tepat disebelah proksimal sfingter ani (Isselbacher,dkk,1999:255) 5. Penyakit hirschprung adalah suatu kelainan yang tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai usus halus ( Ngastiyah, 1997:198) B. Klasifikasi  Penyakit hirschprung segmen pendek. Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus penyakit hirschsprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki- laki dibanding anak perempuan.  Penyakit hirschprung segmen panjang. Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus. Ditemukan sama banyak baik laki – laki maupun perempuan. C. Etiologi Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah diduga terjadi karena : o Faktor genetik dan lingkungan, sering terjadi pada anak dengan Down syndrom. o Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus. D. Patofisiologi Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden, 2002:197). Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ). Aganglionic mega colon atau hirschprung dikarenakan karena tidak adanya ganglion parasimpatik disubmukosa (meissher) dan mienterik (aurbach) tidak ditemukan pada satu atau lebih bagian dari kolon menyebabkan peristaltik usus abnormal. Peristaltik usus abnormal menyebabkan konstipasi dan akumulasi sisa pencernaan di kolon yang berakibat timbulnya dilatasi usus sehingga terjadi megakolon dan pasien mengalami distensi abdomen. Aganglionosis mempengaruhi dilatasi sfingter ani interna menjadi tidak berfungsi lagi, mengakibatkan pengeluaran feses, gas dan cairan terhambat. Penumpukan sisa pencernaan yang semakin banyak merupakan media utama berkembangnya bakteri. Iskemia saluran cerna berhubungan dengan peristaltik yang abnormal mempermudah infeksi kuman ke lumen usus dan terjadilah enterocolitis. Apabila tidak segera ditangani anak yang mengalami hal tersebut dapat mengalami kematian (kirscher dikutip oleh Dona L.Wong,1999:2000) E. Manifestasi Klinis Bayi baru lahir tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 – 28 jam pertama setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan empedu dan distensi abdomen. (Nelson, 2000 : 317). Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketidakadaan evakuasi mekonium. Keterlambatan evakuasi mekonium diikuti obstruksi konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala rigan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 : 317 ). Gejala Penyakit Hirshprung menurut ( Betz Cecily & Sowden, 2002 : 197) 1. Masa neonatal a. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir b. Muntah berisi empedu c. Enggan minum d. Distensi abdomen 2. Masa bayi dan anak – anak a Konstipasi b Diare berulang c Tinja seperti pita dan berbau busuk d Distenssi abdomen e Adanya masa difecal dapat dipalpasi f Gagal tumbuh g Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi F. Komplikasi Menurut Corwin (2001:534) komplikasi penyakit hirschsprung yaitu gangguan elektrolit dan perforasi usus apabila distensi tidak diatasi. Menurut Mansjoer (2000:381) menyebutkan komplikasi penyakit hirschprung adalah: a. Pneumatosis usus Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik distensi berlebihan dindingnya. b. Enterokolitis nekrotiokans Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik distensi berlebihan dindingnya. c. Abses peri kolon Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon yang iskemik distensi berlebihan dindingnya. d. Perforasi Disebabkan aliran darah ke mukosa berkurang dalam waktu lama. e. Septikemia Disebabkan karena bakteri yang berkembang dan keluarnya endotoxin karena iskemia kolon akibat distensi berlebihan pada dindinng usus. Sedangkan komplikasi yang muncul pasca bedah antara lain: a. Gawat pernafasan (akut) Disebabkan karena distensi abdomen yang menekan paru – paru sehingga mengganggu ekspansi paru. b. Enterokolitis (akut) Disebabkan karena perkembangbiakan bakteri dan pengeluaran endotoxin. c. Stenosis striktura ani Gerakan muskulus sfingter ani tak pernah mengadakan gerakan kontraksi dan relaksasi karena ada colostomy sehingga terjadi kekakuan ataupun penyempitan. G. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan: a Daerah transisi b Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit c Entrokolitis padasegmen yang melebar d Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam Pada bayi baru lahir, barium enema tidak selalu memperlihatkan gambaran yang jelas dari penyakit apabila seluruh kolon tidak mempunyai sel ganglion. Hal ini terjadi meskipun pengeluaran barium terlambat 24 jam setelah pemeriksaan diagnostik. 2. Biopsi isap rektum Hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari linea dentata untuk menghindari daerah normal hipogang lionosis dipinggir anus. Biopsi ini dilakukan untuk memperlihatkan tidak adanya sel – sel ganglion di sub mukosa atau pleksus saraf intermuskular. 3. Biopsi rektum Biopsi rektum dilakukan dengan cara tusukan atau punch atau sedotan 2 cm diatas garis pektinatus memperlihatkan tidak adanya sel – sel ganglion di sub mukosa atau pleksus saraf intermuskular. 4. Biopsi otot rektum Pengambilan otot rektum, dilakukan bersifat traumatik, menunjukan aganglionosis otot rektum. 5. Manometri anorektal Dilakukan dengan distensi balon yang diletakan di dalam ampula rektum. Balon akan mengalami penurunan tekanan di dalam sfingter ani interna pada pasien yang normal. Sedangkan pada pasien yang megacolon akan mengalami tekanan yang luar biasa. 6. Pemeriksaan colok anus Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan. 7. Foto rontgen abdomen Didasarkan pada adanya daerah peralihan antara kolon proksimal yang melebar normal dan colon distal tersumbat dengan diameter yang lebih kecil karena usus besar yang tanpa ganglion tidak berelaksasi. Pada pemeriksaan foto polos abdomen akan ditemukan usus melebar / gambaran obstruksi usus letak rendah. H. Penatalaksanaan 1. Medis Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal. Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu : a Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan ukuran normalnya. b Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson, Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah. 2. Perawatan Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain : a Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini b Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak c Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis ( pembedahan ) d Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang ( FKUI, 2000 : 1135 )
READ MORE - LAPORAN PENDAHULUAN HIRSCHPRUNG

KONSEP DASAR EPILEPSI

A. Pengertian 1. Epilepsi atau yang lebih sering disebut ayan atau sawan adalah gangguan sistem saraf pusat yang terjadi karena letusan pelepasan muatan listrik sel saraf secara berulang, dengan gejala penurunan kesadaran, gangguan motorik, sensorik dan mental, dengan atau tanpa kejang-kejang (Ahmad Ramali, 2005 :114). 2. Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan muatan listrik yang abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif Mansjoer , 2000 : 27). 3. Epilepsi adalah serangan kehilangan atau gangguan kesadaran rekuren dan paroksimal, biasanya dengan spasme otot tonik-klonik bergantian atau tingkah laku abnormal lainnya (Helson, 2000 : 339-345). 4. Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan dan berkala (Harsono, 2007). 5. Epilepsi adalah gangguan kejang kronis dengan kejang berulang yang terjadi dengan sendirinya, yang membutuhkan pengobatan jangka panjang (Judit M Wilkinson, 2002 : 576). B. Etiologi 1. Menurut Pincus Catzel halaman 216-226, penyebab epilepsi yaitu: a. Pra Lahir-genetika Kesalahan metabolisme herediter seperti penyakit penimbunan glikogen dan fenilketonuria. Anomali otak kongenital seperti porensefali, infeksi dalam rahim seperti rubella, penyakit cytomegalo virus, meningo-ensefalolitis dan toksoplasmosis. b. Perinatal Trauma kelahiran, infeksi, hiperbilirubinemia, hipoglikemia dan hipokalsemia. c. Paska Lahir Termasuk meningitis, trauma, ensefalitis, ensefalopati (misalnya keracunan timah hitam, gangguan elektrolit berat, neoplasma dan kelainan degeneratif SSP. 2. Menurut Arif Mansjoer halaman 27, penyebab epilepsi yaitu : a. Idiopatik Sebagian epilepsi pada anak adalah epilepsi idiopatik. b. Faktor Herediter Ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberosa, neurofibromatosis, fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikemia. c. Faktor Genetik Pada kejang demam dan breath holding spell. d. Kelainan Kongenital Otak Atrofi, porensefali e. Gangguan Metabolik Penurunan konsentrasi glukosa darah (Hipoglikemia), hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia 1) Glukosa digunakan dalam metabolisme dari otak. Kekurangan glukosa sama merusak seperti kekurangan oksigen. 2) Air dan elektrolit sepanjang membrane sel bertanggungjawab bagi keadaan terangsang (eksitabilitas) neuron dan karena setiap gangguan elektrolit dapat mencetuskan konvulsi. f. Infeksi Radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya, toksoplamosis. g. Trauma Cedera kepala, kontusio cerebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural. h. Neoplasma dan selaputnya Tumor otak yang jinak (benigna) lebih sering mengakibatkan epilepsi dibaning tumor ganas. Hal ini didapatkan pada sekitar 25-40 % penderita tumor otak. i. Keracunan Timbal (Pb), kamper (kapur barus), air. 3. Faktor Presipitasi Faktor presipitasi ialah faktor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu : a. Faktor sensori Cahaya, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air panas. b. Faktor sistenis Demam, penyakit infeksi, obat-obatan tertentu (misal fenotiazin), hipoglikemia dan kelelahan fisik. c. Faktor mental Stress, gangguan emosi. d. Haid Penelitian menduga bahwa perubahan keseimbangan hormon semasa haid ikut berperan dalam mencetuskan serangan. C. Patofisiologi Menurut Harsono, sistem saraf merupakan communication network (jaringan komunikasi). Otak berkomunikasi dengan organ-organ tubuh yang lain melalui sel-sel saraf (neuron). Pada kondisi normal, impuls saraf dari otak secara elektrik akan dibawa neurotransmitter seperti GABA (gamma-aminobutiric acid dan glutamat) melalui sel-sel saraf (neuron) ke organ-organ tubuh lain. Faktor-faktor penyebab epilepsi di atas, mengganggu sistem ini sehingga menyebabkan ketidakseimbangan aliran listrik pada sel saraf dan menimbulkan kejang yang merupakan salah satu ciri epilepsi. Gambar : Neurotransmiter D. Pathway Keperawatan E. Manifestasi Klinis Menurut Commision of Classification and Terminology of The International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsi sebagai berikut : 1. Epilepsi Parsial (Fokal, Lokal) a. Epilepsi Parsial Sederhana; sawan parsial dengan kesadaran tetap normal. 1) Dengan Gejala Motorik a) Fokal motorik tidak menjalar : epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh saja b) Fokal motorik menjalar : epilepsi dimulai satu bagian tubuh dan menjalar luas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson (epilepsi lobus temporalis). Umumnya hampir terjadi pada semua pasien dengan struktur otak, serangan umumnya dimulai pada tangan, kaki, dan muka diakhiri dengan seizure grandmal. c) Versif : epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh. d) Postural : epilepsi disertai lengan dan tungkai kaku dalam sikap tertentu. e) Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu. 2) Dengan gejala somatosensoris atau sensasi spesial : epilepsi disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima pancaindera dan bangkitan yang disertai vertigo. a) Somatosensori : timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum b) Visual : terlihat cahaya c) Auditorius : terdengar sesuatu d) Olfaktorius : terhidu sesuatu e) Gustatorius : terkecap sesuatu f) Disertai vertigo 3) Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat, piloereksi, dilatasi pupil) 4) Dengan gejala psikis a) Disfasia : gangguan bicara misalnya mengulang suatu kata atau bagian kalimat. b) Demensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya tidak pernah mengalami. c) Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah. d) Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut. e) Ilusi f) Halusinasi kompleks b. Epilepsi Parsial kompleks / Psikomotor 1) Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian baru menurun. a) Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran. b) Dengan automatisme : gerakan-gerakan perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya menelan-nelan, berjalan, berbicara, dan lain-lain. 2) Dengan penurunan kesadaran sejak serangan ; kesadaran menurun sejak permulaan serangan. a) Dengan penurunan kesadaran b) Dengan automatisme c. Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik) 1) Epilepsi Parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum 2) Epilepsi Parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum 3) Epilepsi Parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum. 2. Epilepsi Umum (Konvulsif / Non Konvulsif) A. 1. Epilepsi Lena (Absence) atau Petit Mal Kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, maka tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya berlangsung selama ¼ - ½ menit dan sering dijumpai pada anak. 2. Epilepsi Lena tak khas a) Gangguan tonus yang lebih jelas b) Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak jelas. B. Epilepsi Mioklonik Terjadi kontraksi mendadak, sebentar dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot-otot. Sekali atau berulangg-ulang dan dijumpai pada semua umur. C. Epilepsi Klonik Tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelenjot. Dijumpai sekali pada anak. D. Epilepsi Tonik Tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku, juga terdapat pada anak. E. Epilepsi Tonik-klonik Keadaan ini dimulai secara mendadak disertai kehilangan kesadaran. Sering dijumpai pada umur diatas balita. Kejang berlangsung kira-kira 15-30 detik. Biasanya diawali dengan aura (peringatan akan terjadi serangan lebih lanjut). Urutannya sebagai berikut : 1. Aura Bentuk aura bermacam-macam, misalnya : a) Merasa sakit perut atau tidak enak di perut. b) Merasa ada sesuatu di perut, yang kemudian naik ke dada dan kepala. c) Nyeri kepala. d) Telinga berdengung. e) Membaui bau yang tidak sedap, atau bau busuk. 2. Fase Tonik, yaitu kontraksi yang kaku dari semua otot. Selama fase ini lidah atau pipi dapat tergigit. Kontraksi otot mencegah pernapasan dan anak dapat menjadi biru / tidak sadar. Mulut dapat berbusa karena hembusan nafas. 3. Fase Kronis Selama fase ini, gerakan menghentak dimulai yang dapat menjadi keras. Cedera dapat disebabkan oleh gerakan yang kuat. Disertai inkontinensia urin dan feses. 4. Koma Otot mengalami relaksasi lengkap. Dapat berlangsung selama 10 menit sampai beberapa jam dan didikuti suatu periode bingung dan anak menjadi gelisah. 3. Epilepsi Tak Tergolongkan Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, menggigil dan pernapasan yang mendadak berhenti sementara. Kelainan yang meniru Epilepsi menurut Pincus Catzel : 1. Serangan menahan nafas Biaanya terjadi antara umur 6 dan 39 bulan. Biasanya dicetuskan oleh nyeri, ketakutan dan frustasi. Bayi menangis sampai semua udara dipaksa keluar dari dadanya dan cepat mengalami sianosis. Serangan berlanjut disertai atau tanpa konvulsi. 2. Synkope (pucat pasi) Seperti serangan menahan nafas, dapat dicetuskan oleh nyeri dan ketakutan. Anak menjadi pucat, pingsan dan mungkin disertai konvulsi. Dapat pula disertai henti jantung. 3. Anoksia Serebrum Dapat disebabkan oleh seranagn pingsan karena penyakit jantung kongenital. 4. Serangan Pingsan Lazim pada pubertas dan selama adolensen, yang berhubungan erat adalah pingsan hipotensi ortostatik. 5. Masturbasi Masturbasi dapat mengambil bentuk aneh pada masa kanak-kanak. Ia sering disertai goyangan berirama “flushing”, wajah dan pandangan berkonsentrasi kuat. Saat mencapai puncak, anak menjadi lemah dan linglung. 6. Histeria Histeria menimbulkan serangan aneh yang tidak boleh dikacaukan dengan epilepsi murni. Kadang-kadang seorang anak dapat mencontoh serangan epilepsi pada saudaranya untuk mendapat perhatian dari ibunya. F. Pemeriksaan Penunjang 1. Elektroensefalogram (EEG) a) Tujuan : dapat membuktikan fokal atau gangguan disfungsi otak akibat lesi organic melalui pengukuran aktivitas listrik dalam otak. b) Pada epilepsy pola EEG dapat membantu untuk menentukan jenis dan lokasi bangkitan. Didapatkan hasil berupa gelombang epilepsy form discharge sharp wave spike and wave. c) Pemeriksaan EEG harus dilakukan secara berkala karena kira-kira 8-12 % pasien epilepsi mempuntai rekaman EEG yang normal. 2. Pemeriksaan Radiologis a) Foto tengkorak : untuk mengetahui kelainan tulang tengkorak, destruksi tulang, kalsifikasi intrakranium yang abnormal (yang disebabkan oleh penyakit dan kelainan), juga tanda peningkatan TIK seperti pelebaran sutura, erosi sela tursika, dan sebagainya. b) Pneumoensefalografi dan ventrikulografi Dilakukan atas indikasi tertentu untuk melihat gambaran system ventrikel, sisterna, rongga subaraknoid serta gambaran otak. c) Arteriografi Untuk mengetahui pembuluh darah di otak; apakah ada pernjakan (neoplasma, hematom abses), penyumbatan (thrombosis, peregangan, hidrosefalus) atau anomali pembuluh darah. d) Pemeriksaan Pencitraan Otak MRI bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Yang berguna untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri dan mendeteksi kelainan pertumbuhan otak, tumor yang berukuran kecil. e) Pemeriksaan laboratorium Dilakukan atas indikasi untuk memastikan adanya kelainan sistemik seperti hipoglikemi dan hiponatremia. G. Komplikasi Menurut Yuda Turana, 2006 : 1. Gangguan Memori a) Fenomena “tip of tounge” yaitu penderita tahu kata yang ingin diucapkan, tapi tidak terpikir olehnya. b) Checking, yaitu harus kembali memerikaa hal-hal yang dilakukan. c) Sering lupa dimana meletakkan barang Lesi pada otak adalah penyebab utama gangguan memori pada epilepsi, karena lesi pada lobus temporal mempunyai hubungan dengan fungsi belajar. 2. Gangguan Kognitif Pada anak, gangguan berbahasa lebih sering terjadi pada anak. Kejang berulang pada anak berhubungan dengan penurunan fungsi intelek. Dapat juga disebabkan oleh obat antiepilepsi. 3. Penurunan Fungsi Memori Verbal Disebabkan oleh operasi yaitu paska operasi epilepsi. 4. Keterbatasan Interaksi Sosial Hal itu terjadi pada epilepsi lobus frontal, karena peranan korteks prefrontal yang berperan dalam fungsi emosi, perilaku hubungan interpersonal. Apabila terganggu dapat mengakibatkan keterbatasan interaksi sosial. 5. Status Epileptikus 6. Kematian H. Penatalaksanaan 1. Penataksanaan Medikamentosa Menurut Arif Mansjoer, 2000 : Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya epilepsi tanpa mengganggu kapasitas fisik dan intelek pasien. Obat pilihan berdasarkan jenis epilepsi No Bangkitan Jenis Obat 1. Fokal / Parsal Sederhana Kompleks Tonik-klonik Umum CBZ, PB, PTH CBZ, PB, PTH, VAL CBZ, PB, PTH, VAL 2. Umum Tonik-klonik Mioklonik Absena / Petit mal CBZ, PB, PTH, VAL CLON, VAL CLON, VAL CBZ : karbamazepin CLON : klonazepan VAL : asam valproat PHT : fenitol PB : fenobarbital Nama Generik Efek samping atau berkaitan dengan dosis Karbamazepin (tegretol) Pusing, mengantuk, keadaan tidak mantep, mual, muntah, diplopia, lekopenia ringan. Klonazepan Mengantuk, ataksi, hipotensi, depresi respirasi Fenitol Masalah penglihatan, hirsutisma, hyperplasia gusi, distritmia Fenobarbital Sedasi, peka rangsang, diplopia, ataksia Jenis Obat Dosis (mg/KgBB/Hr) Cara pemberian Fenobarbital 1-5 1 x / hari Fenitol 4-20 1-2 / hari Karbamazepin 4-20 3 x / hari Asam valproat 10-60 3 x / hari Kloazepam 0,05-0,2 3 x / hari Diazepam 0,05-0,015 IV 0,4-0,6 per rectal 2. Terapi Bedah Menurut Lumbantobing (1996) Tujuan operasi adalah meningkatkan kualitas hidup, dan bukan hanya menghilangkan kambuhnya serangan. Berbagai jenis operasi yang dapat dilakukan, diantaranya angkat jaringan sakit di lobus frontal dan tempat lain. Ada pula jenis operasi untuk menghilangkan atau mencegah kambuhnya serangan misalnya memotong korpus kolosom. 3. Terapi Keperawatan Menurut Rosa Sachorin (1997) Selama kejang, tujuan perawat adalah untuk mensegah cedera pada pasien. Cakupan perawat bukan hanya mencegah atau meminimukan cedera terhadap pasien, antara lain : a. Selama Kejang 1) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu (pasien yang mempunyai aura atau penanda ancaman kejang). 2) Tidak boleh menginggalkan pasien sendirian. 3) Mengamankan pasien di lantai, jika memungkinkan. 4) Melindungi kepala dengan bantalam untuk mencegah cedera kepala (dari membentur permukaan keras). 5) Lepaskan pakaian yang ketat. 6) Singkirkan semua perabot yang dapat mencederai pasien selama kejang. 7) Jika pasien di tempat tidur, singkirkan bantal dan tinggikan pagar di tempat tidur. 8) Jika aura mendahului kejang, masukan spatel lidah yang diberi bantalan diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit. 9) Jangan berusaha untuk membuka rahang yangterkatup pada keadan spasme untuk memasukkan sesuatu. Gigi patah dan cedera pada bibir dan lidaj dapat terkadi karena tindakan ini. 10) Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang, karena kontraksi otot dan restrein dapat menimbulkan cedera. 11) Jika mungkin, tempatkan pasien kiring pada salah satu sisi dengan kepala fleksi ke depan, yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran saliva dam mukus. Jika disediakan penghisap, gunakan jika perlu untuk membersihkan secret. 12) Pasang penghalang tempat tiduryang memakai pelunak, bila harus berada terus di tempat tidur, atau terjadi kejang sewaktu tidur. Bantal jangan dipakai pelunak, karena bahaya bias terjadi tercekik. 13) Observasi secara akurat dan dicatat. 14) Masase b. Setelah Kejang 1) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. 2) Biasanya terjadi periode ekonfusi setelah kejang grandmal. 3) Periode apneu pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba setelah kejang. 4) Pasien pada saat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan. 5) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang, coba untuk menangani situasi dnegan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut. c. Konsultasi dan penyuluhan Penyuluhan merupakan bagian yang penting dari keperawatan pasien dengan kejang. Yang harus mendapat penyuluhan termasuk pasien serta keluarga pasien yang merawat pada saat serangan. Melibatkan keluarga pasien dan orang lain yang berkepentingan selama pasien masih dirawat di rumah sakit dan dapat menerima anggota keluarga yang kejang. Penyuluhan pasien dnegan kejang : 1) Pemakaian obat, efek samping, dosis, waktu, laporkan efek samping kepada dokter. 2) Langkah-langkah menghindari cedera pada saat kejang. 3) Utamakan cukup istirahat dan diet. 4) Utamakan memakai obat walaupun sedang bebas kejang. 5) Memanfaatkan sumber-sumber di masyarakat. 6) Utamakan perawatan lanjutan. 7) Penting untuk mengungkapkan perasaan. 8) Kebutuhan untuk mencegah stress hebat. 9) Penting memakai tanda pengenal medis 10) Penting untuk tidak terlalu melindungi anak.
READ MORE - KONSEP DASAR EPILEPSI

 
 
 
bisnis paling gratis