ASUHAN KEPRAWATAN PADA INTOKSIKASI PESTISIDA

Rabu, 30 Maret 2011

A. Pengertian
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Istilah peptisida pada umumnya dipakai untuk semua bahan yang dipakai manusia untuk membasmi hama yang merugikan manusia.Termasuk peptisida ini adalah insektisida.

B. Etiologi
Ada 2 macam insektisuda yang paling benyak digunakan dalam pertanian:
1. Insektisida hidrokarbon khorin ( IHK=Chlorinated Hydrocarbon )
2. Isektida fosfat organic ( IFO =Organo Phosphatase insectisida )
Yang paling sering digunakan adalah IFO yang pemakaiannya terus menerus meningkat. Sifat dari IFO adalah insektisida poten yang paling banyak digunakan dalam pertanian dengan toksisitas yang tinggi. Salah satu derivatnya adalah Tabun dan Sarin. Bahan ini dapat menembusi kulit yang normal (intact) juga dapaat diserap diparu dan saluran makanan,namun tidak berakumulasi dalam jaringan tubuh seperti golongan IHK. Macam-macam IFO adalah malathion ( Tolly ) Paraathion,diazinon,Basudin,Paraoxon dan lain-lain. IFO ada 2 macam adalah IFO Murni dan golongan carbamate.Salah satu contoh gol.carbamate adalah baygon.

C. Patofisiologi
IFO bekerja dengan cara menghabat ( inaktivasi ) enzim asetikolinesterase tubuh (KhE). Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis arakhnoid (AKH) dengan jalan mengikat Akh–KhE yang bersifat inaktif. Bila konsentrasi racun lebih tinggi dengan ikatan IFO- KhE lebih banyak terjadi. Akibatnya akan terjadi penumpukan Akh ditempat-tempat tertentu, sehingga timbul gejala-gejala ransangan Akh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek muscarinik, nikotinik dan SSP ( menimbulkan stimulasi kemudian depresi SSP)
Pada keracunan IFO, ikatan Ikatan IFO – KhE bersifat menetap (ireversibel), sedangkan keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara (reversible ).
Secara farmakologis efek akhir dapat dibagi 3 golongan :
1. Muskarini, terutama pada saluran pencernaan, kelenjar ludah dan keringat, pupil, bronkus dan jantung.
2. Nikotinik, terutama pada otot-otot skeletal, bola mata, lidah, kelopak mata dan otot pernafasan.
3. SSP, menimbulkan nyeri kepala, perubahan emosi, kejang-kejang (Konvulsi) sampai koma.

D. Gambaran klinis
Yang paling menonjol adalah kelainan visus,hiperaktifitas kelenjar ludah, keringat dan ggn saluran pencernaan, serta kesukaran bernafas.
Gejala ringan meliputi : Anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah,rasa takut, tremor pada lidah,kelopak mata,pupil miosis.
Keracunan sedang : nausea, muntah-muntah, kejang atau kram perut, hipersaliva, hiperhidrosis,fasikulasi otot dan bradikardi.
Keracunan berat : diare, pupil pi- poin, reaksi cahaya negatif ,sesak nafas, sianosis, edema paru .inkontenesia urine dan feces, kovulsi,koma, blokade jantung akhirnya meningal.

E. Penatalaksanaan
1. Resusitasi.
Setelah jalan nafas dibebaskan dan dibersihkan, periksa pernafasan dan nadi. Infus dextrose 5 % kec. 15- 20 tts/menit, nafas buatan, oksigen, hisap lendir dalam saluran pernafasan, hindari obat-obatan depresan saluran nafas, kalu perlu respirator pada kegagalan nafas berat. Hindari pernafasan buatan dari mulut kemulut, sebab racun organo fhosfat akan meracuni lewat mlut penolong. Pernafasan buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask atau menggunakan alat bag – valve – mask.
2. Eliminasi.
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar atau dengan pemeberian sirup ipecac 15 – 30 ml. Dapat diulang setelah 20 menit bila tidak berhasil.
Katarsis, (intestinal lavage), dengan pemberian laksan bila diduga racun telah sampai diusus halus dan besar.
Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang kesadarannya menurun,atau pada penderita yang tidak kooperatif. Hasil paling efektif bila kumbah lambung dikerjakan dalam 4 jam setelah keracunan.
Keramas rambut dan memandikan seluruh tubuh dengan sabun.
Emesis, katarsis dan kumbah lambung sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang dari 4-6 jam. pada koma derajat sedang hingga berat tindakan kumbah lambung sebaiknya dukerjakan dengan bantuan pemasangan pipa endotrakeal berbalon,untuk mencegah aspirasi pnemonia.
3. Anti dotum.
Atropin sulfat ( SA ) bekerja dengan menghambat efek akumulasi Akh pada tempat penumpukan.
a. Mula-mula diberikan bolus IV 1 – 2,5 mg
b. Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 – 10 – 15 menit samapi timbul gejala-gejala atropinisasi (muka merah, mulut kering, takikardi, midriasis, febris dan psikosis).
c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 – 60 menit selanjutnya setiap 2 – 4 –6 – 8 dan 12 jam.
d. Pemberian SA dihentikan minimal setelaj 2 x 24 jam.
Penghentian yang mendadak dapat menimbulkan rebound effect berupa edema paru dan kegagalan pernafasan akut yang sering fatal.

F. Pemeriksaan penunjang
Pengukuran kadar KhE dengan sel darah merah dan plasma, penting untuk memastikan diagnosis keracunan IFO akut maupun kronik (Menurun sekian % dari harga normal ).
1. Kercunan akut : Ringan : 40 – 70 %
2. Sedang : 20 – 40 %
3. Berat : < 20 % 4. Keracunan kronik bila kadar KhE menurun sampai 25 - 50 % setiap individu yang berhubungan dengan insektisida ini harus segara disingkirkan dan baru diizinkan bekerja kemballi kadar KhE telah meningkat > 75 % N
5. Patologi Anatomi ( PA ). Pada keracunan acut, hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak khas. sering hanya ditemukan edema paru, dilatsi kapiler, hiperemi paru, otak dan organ-oragan lainnya.

G. Patway
IFO


( inaktivasi ) enzim asetikolinesterase tubuh (KhE).


Penumpukan Akh (arakhnoid) ditempat-tempat tertentu,


sehingga timbul gejala-gejala ransangan Akh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek muscarinik, nikotinik dan SSP ( menimbulkan stimulasi kemudian depresi SSP)
Muskarini, terutama pada saluran pencernaan, kelenjar ludah dan keringat, pupil, bronkus dan jantung.
Nikotinik, terutama pada otot-otot skeletal, bola mata, lidah, kelopak mata dan otot pernafasan.
SSP, menimbulkan nyeri kepala, perubahan emosi, kejang-kejang (Konvulsi) sampai koma.

H. Pengkajian
Pengkajian difokusakan padfa masalah yang mendesak seperti jalan nafas dan sirkulasi yang mengancam jiwa,adanya gangguan asam basa,keadaan status jantung,status kesadran.
Riwayat kesadaran : riwayat keracunan, bahan racun yang digunakan, berapa lama diketahui setelah keracunan,ada masalah lain sebagi pencetus keracunan dan sindroma toksis yang ditimbulkan dan kapan terjadinya.

I. Diagnosa keperawatan
Masalah keperawatan. Yang mungkin timbul adalah :
1. Tidak efektifnya pola nafas
2. Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh.
3. Gangguan kesadaran
4. Tidak efektifnya koping individu.

J. Daftar pustaka
Emerton, D M ( 1989 ) Principle And Practise Of nursing , University of Quennsland Press, Australia.
Departemen kesehatan RI, ( 2000 ) Resusitasi jantung, paru otak Bantuan hidup lanjut ( Advanced Life Support ) Jakarta.
LabUPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr.Soetomo Surabaya,( 1994 ) Pedoman Diagnosis dan Terapi, Surabaya.
Phipps , ect, ( 1999 ) Medikal Surgical Nursing : Consept dan Clinical Pratise, Mosby Year Book, Toronto.
READ MORE - ASUHAN KEPRAWATAN PADA INTOKSIKASI PESTISIDA

Otitis Media Akut (OMA)

Jumat, 25 Maret 2011

A. Pengertian
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah (Kapita selekta kedokteran, 1999).
Yang paling sering terlihat ialah :
1. Otitis media viral akut
2. Otitis media bakterial akut
3. Otitis media nekrotik akut

B. Etiologi
Penyebabnya adalah bakteri piogenik seperti streptococcus haemolyticus, staphylococcus aureus, pneumococcus , haemophylus influenza, escherecia coli, streptococcus anhaemolyticus, proteus vulgaris, pseudomonas aerugenosa.

C. Patofisiologi
Umumnya otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah, kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri yang membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai dengan hiperemi dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian faring, yang kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.
Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat dan transudat dalam telinga tengah, akibatnya telinga tengah menjadi sangat rentan terhadap infeksi bakteri yang datang langsung dari nasofaring. Selanjutnya faktor ketahanan tubuh pejamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit.

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Otoskop pneumatik untuk melihat membran timpani yang penuh, bengkak dan tidak tembus cahaya dengan kerusakan mogilitas.
2. Kultur cairan melalui mambran timpani yang pecah untuk mengetahui organisme penyebab.

E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Data yang muncul saat pengkajian:
a. Sakit telinga/nyeri
b. Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga
c. Tinitus
d. Perasaan penuh pada telinga
e. Suara bergema dari suara sendiri
f. Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan
g. Vertigo, pusing, gatal pada telinga
h. Penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga
i. Penggunanaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin)
j. Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40o C), demam
k. Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat
l. Reflek kejut
m. Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras
n. Tipe warna 2 jumlah cairan
o. Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning
p. Alergi
q. Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram
r. Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas, infeksi telinga sebelumnya, alergi
2. Fokus Intervensi
1) Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada telinga
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Intervensi:
(a) Beri posisi nyaman ; dengan posisi nyaman dapat mengurangi nyeri.
(b) Kompres panas di telinga bagian luar ; untuk mengurangi nyeri.
(c) Kompres dingin ; untuk mengurangi tekanan telinga (edema)
(d) Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotik
Evaluasi: nyeri hilang atau berkurang
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pengobatan
Tujuan : tidak terjadi tanda-tanda infeksi
Intervensi:
(a) Kaji tanda-tanda perluasan infeksi, mastoiditis, vertigo ; untuk mengantisipasi perluasan lebih lanjut.
(b) Jaga kebersihan pada daerah liang telinga ; untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme
(c) Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa/terlalu keras (sisi) ; untuk menghindari transfer organisme dari tuba eustacius ke telinga tengah.
(d) Kolaborasi pemberian antibiotik
Evaluasi: infeksi tidak terjadi
3) Resiko tinggi injury berhubungan dengan penurunan persepsi sensori
Tujuan : tidak terjadi injury atau perlukaan
Intervensi:
(a) Pegangi anak atau dudukkan anak di pangkuan saat makan ; meminimalkan anak agar tidak jatuh
(b) Pasang restraint pada sisi tempat tidur ; meminimalkan agar anak tidak jatuh.
(c) Jaga anak saat beraktivitas ; meminimalkan agar anak tidak jatuh
(d) Tempatkan perabot teratur ; meminimalkan agar anak tidak terluka
Evaluasi : anak terhindar dari injury/perlukaan
READ MORE - Otitis Media Akut (OMA)

TUMOR MEDULA SPINALIS

I. DEFINISI
Tumor medula spinalis adalah tumor yang berkembang dalam tulang belakang atau isinya dan biasanya menimbulkan gejala-gejala karena keterlibatan medula spinalis atau akar-akar saraf. (Price sylvia anderson, 1995)

II. KLASIFIKASI
a. Tumor Intradural
Berbeda dengan tumor ekstradural tumor intradural pada umumnya jinak.
- Tumor Ekstramedular
Terletak diantara durameter dan medula spinalis, sebagian besar tumor di daerah ini merupakan neurofibroma atau meningioma jinak
- Tumor Intramedular
Berasal dari dalam medula spinalis itu sendiri.
b. Tumor Ekstradural
 Tumor ekstradural terutama merupakan metastase dari lesi primer di payudara, prostat, tiroid, paru-paru, ginjal, dan lambung
 Tumor ekstradural pada umumnya berasal dari kolumna vertebralis atau dari dalam ruangan ekstradural. Neoplasma ekstradural dalam ruangan ekstradural biasanya karsinoma dan limfoma metastase.

III. MANIFESTASI KLINIK
 Tumor ekstradural
- Nyeri yang digambarkan sebagai konstan dan terbatas pada daerah tumor diikuti oleh nyeri yang menjalar menurut pola dermatom
- Nyeri paling hebat pada malam hari dan menjadi lebih hebat oleh gerakan tulang belakang dan istirahat baring
- Nyeri radikuler diperberat oleh batuk dan mengedan
- Nyeri dapat berlangsung selama beberapa minggu atau bulan sebelum keterlibatan medula spinalis.
- Fungsi medula spinalis akan hilang sama sekali
- Kelemahan spastik dan hilangnya sensasi getar
- Parestesi dan defisit sensorik akan berkembang cepat menjadi paraplegia yang irreversible
- Gangguan buang air besar dan buang air kecil
 Tumor intradural
Perjalanan klinis dapat lebih lambat dan berlangsung selama berbulan-bulan.
- Berkurangnya persepsi nyeri dan suhu kontralateral dibawah tingkat lesi
- Penderita mengeluh nyeri, mula mula pada punggung dan kemudian sepanjang akar-akar spinal
- Nyeri diperhebat oleh gerakan, batuk, bersin, atau mengedan dan paling berat pada malam hari ( nyeri pada malam hari disebabkan oleh traksi pada akar-akar yang sakit, yaitu sewaktu tulang belakang memanjang setelah hilangnya efek pemendekan dari gravitasi.
- Parestesia dan berlanjutnya defisit sensorik proprioseptif

IV. ETIOLOGI
Faktor Resiko tumor dapat terjadi pada setiap kelompok Ras, insiden meningkat seiring dengan pertambahan usia, faktor resiko akan meningkat pada orang yang terpajan zat kimia tertentu (Okrionitil, tinta, pelarut, minyak pelumas), namun hal tersebut belum bisa dipastikan. Pengaruh genetik berperan serta dalam tibulnya tumor, penyakit sklerosis TB dan penyakit neurofibomatosis.

V. PATOFISIOLOGI
Kondisi patofisiologi akibat tumor medula spinalis disebabkan oleh kerusakan dan infiltrasi, pergeseran dan dekompresi medula spinalis dan terhentinya suplai darah atau cairan serebrospinal. Derajad gejala tergantung dari tingkat dekompresi dan kecepatan perkembangan, adaptasi bisa terjadi dengan tumor yang tumbuh lamban, 85 % tumor medula spinalis jinak.
Terutama tumor neoplasma baik yang timbul ekstramedula atau intra medula. Tumor sekunder atau tumor metastase dapat juga mengganggu medula spinalis dan lapisannya serta ruas tulang belakang
Tumor ekstramedular dari tepi tumor intramedural pada awalnya menyebabkan nyeri akar sarat subyektif. Dengan pertumbuhan tumor bisa muncul defisit motorik dan sensorik yang berhubungan dengan tingkat akardan medula spinalis yang terserang. Karena tumor membesar terjadilah penekanan pada medula spinalis. Sejalan dengan itu pasien kehilangan fungsi semua motor dan sensori dibawah lesi/tumor
Tumor medula spinalis, yang dimulai dari medula spinalis, sering menimbulkan gejala seperti pada sentral medula spinalis, termasuk hilang rasa nyeri segmental dan fungsi temperatur. Tambahan pula fungsi sel-sel tanduk anterior seringkali hilang, terutama pada tangan. Seluruh jalur sentral yang dekat benda kelabu menjadi disfungsi. Hilangnya rasanyeri dan sensori suhu dan kelemahan motorik berlangsung sedikit demi sedikit, bertambah berat dan menurun. Motorik cauda dan fungsi sensorik yang terakhir akan hilang, termasuk hilang fungsi eliminasi fecal dan urine. (Long C, Barbara, 1996)

VI. PENATALAKSANAAN
 Stabilisasi : fusi spinal
 Pengobatan : relaksan otot, transquilizer, anti koagulan, laksatif, antasida dan steroid.
 Tumor Ekstradural
- Laminektomie
- Hormon, radiasi dan kemoterapi merupakan pengobatan tambahan
 Tumor Intradural
- Pengangkatan dengan pembedahan

VII. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik secara umum dapat dilakukan :
 Pemeriksaan sinar X
 CT. Scan
 MRI
 Analisa Gas Darah
 Elektrolit
 Tumor Ekstradural
- Radiogram tulang belakang
Akan memperlihatkan osteoporosis atau kerusakan nyata pada korpus vertebra dan pedikel
- Myelogram
Memastikan lokalisasi tumor
- Pemeriksaan LCS
Akan memperlihatkan peningkatan kadar protein dan kadar glukosa yang normal
 Tumor Intradural
- Radiogram tulang punggung memperlihatkan pembesaran foramen dan penipisan pedikel yang berdekatan
- Myelogram
Menentukan lokalisasi yang cepat

ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian
a. Data dasar ; nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, alamat, golongan darah, penghasilan
b. Riwayat kesehatan ; apakah klien pernah terpajan zat zat kimia tertentu, riwayat tumor pada keluarga, penyakit yang mendahului seperti sklerosis TB dan penyakit neurofibromatosis, kapan gejala mulai timbul
c. Aktivitas / istirahat, Gejala : kelemahan / keletihan, kaku, hilang keseimbangan. Tanda : perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadriplegi, ataksia, masalah dalam keseimbangan, perubaan pola istirahat, adanya faktor faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, cemas, keterbatasan dalam hobi dan dan latihan
d. Sirkulasi, Gejala : nyeri punggung pada saat beraktivitas. Kebiasaan : perubahan pada tekanan darah atau normal, perubahan frekuensi jantung.
e. Integritas Ego, Gejala : faktor stres, perubahan tingkah laku atau kepribadian, Tanda : cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
f. Eliminasi : Inkontinensia kandung kemih/ usus mengalami gangguan fungsi.
g. Makanan / cairan , Gejala : mual, muntah proyektil dan mengalami perubahan sklera. Tanda : muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia)
h. Neurosensori, Gejala : Amnesia, vertigo, synkop, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling dan baal pad aekstremitas, gangguan pengecapan dan penghidu. Tanda : perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil, deviasi pada mata ketidakmampuan mengikuti, kehilangan penginderaan, wajah tidak simetris, genggaman lemah tidak seimbang, reflek tendon dalam lemah, apraxia, hemiparese, quadriplegi, kejang, sensitiv terhadap gerakan
i. Nyeri / Kenyamanan, Gejala : nyeri kepala dengan intensitas yang berbeda dan biasanya lama. Tanda : wajah menyeringai, respon menarik dri rangsangan nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat / tidur.
j. Pernapasan, Tanda : perubahan pola napas, irama napas meningkat, dispnea, potensial obstruksi.
k. Hormonal : Amenorhea, rambut rontok, dabetes insipidus.
l. Sistem Motorik : scaning speech, hiperekstensi sendi, kelemahan
m. Keamanan , Gejala : pemajanan bahan kimia toksisk, karsinogen, pemajanan sinar matahari berlebihan. Tanda : demam, ruam kulit, ulserasi
n. Seksualitas, Gejala: masalah pada seksual (dampak pada hubungan, perubahan tingkat kepuasan)
o. Interaksi sosial : ketidakadekuatan sistem pendukung, riwayat perkawinan (kepuasan rumah tangga, dukungan), fungsi peran.
( Doenges, 2000 )

II. Masalah keperawatan
- Kelumpuhan
- Gangguan sensibilitas
- Gangguan nafas/kelumpuhan diafragma untuk tumor servical tinggi
- Gangguan sistem cerna
- Kesukaran dalam buang air besar dan buang air kecil
- Perawatan khusus rehabilitasi bagi penderita instabilitas tulang punggung

III. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri (akut) / kronis b.d agen pencedera fisik, kompresi saraf,ditandai dengan : menyatakan nyeri oleh karena perubahan posisi, nyeri, pucat sekitar wajah, perilaku berhati hati, gelisah condong keposisi sakit, penurunan terhadap toleransi aktivitas, penyempitan fokus pada diri sendiri, wajah menahan nyeri, perubahan pola tidur, menarik diri secara fisik
Kriteria hasil : pasien melaporkan nyeri berkurang, menunjuKkan perilaku untuk mengurangi kekambuhan atau nyeri

Intervensi :
a. Kaji keluhan nyeri
b. Observasi keadaan nyeri nonverbal ( misal ; ekspresi wajah, gelisah, menangis, menarik diri, diaforesis, perubaan frekuensi jantung, pernapasan dan tekanan darah.
c. Anjurkan untuk istirahat denn tenang
d. Berikan kompres panas lembab pada kepala, leher, lengan sesuai kebutuhan
e. Lakukan pemijatan pada daerah kepala / leher / lengan jika pasien dapat toleransi terhadap sentuhan
f. Sarankana pasien untuk menggnakan persyaratan positif “ saya sembuh “ atau “ saya suka hidup ini “
g. Berikan analgetik / narkotik sesuai indikasi
h. Berikan antiemetiksesuai indikasi

2. Defisit perawatan diri : higiene, makan toileting dan mobilitas yang b. d gangguan neurofisiologis.
Kriteria hasil : kebutuhan perawatan diri pasien terpenuhi, kebutuhan nutrisi dan cairan terpenuhi, kebutuhan eliminasi terpenuhi, kebutuhan higiene oral, muka terpenuhi, latihan rentang gerak aktif dan psif dilakukan.
Intervensi :
a. Kaji tingkat kemampuan yang berhubungan dalam melakukan kebutuhan perawatan diri
b. Bantu saat pasien makan sesuai kebutuhan
c. Lakukan perawatan kateter setiap hari
d. Lakukan higiene oral setiap hari
e. Lakukan latihan rentang gerak pasif untuk ekstremitas
f. Bantu dan ajarkan latihan pembentukan otot sesuai indikasi : boneka untuk latihan memeras, bola karet.
g. Lakukan perawatan kulit : gosok punggung
h. Berikan higiene secara total sesuai indikasi
i. Berikan bantuan nutrisi sesuai pesanan : konsulkan dengan ahli gizi untuk menetapkan kebutuhan
j. Jelaskan pentingnya perawatan diri.
3. Perubahan persepsi sensori b.d perubahan resepsi sensoris, transmisi dan atau integrasi ( trauma atau defisit neurologis ), ditandai dengan disorientasi, perubaan respon terhadap rangsang, inkoordinasi motorik, perubahan pola komunikasi, distorsi auditorius dan visual, penghidu, konsentrasi buruk, perubahan proses pikir, respon emosiaonal berlebihan, perubahan pola perilaku
Kriteria hasil : pasien dapat dipertahanakan tingkat kesadaran dan fuingsi persepsinya, mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlibatan residu, mendemonstrasikan perubahan gaya hidup.
Intervensi :
a. Kaji secar teratur perubahan orientasi, kemampuan bicara, afektif, sensoris dan proses pikir
b. Kaji kesadaran sensoris seperti respon sentuan , panas / dingin, benda tajam atau tumpul, keadaran terhadap gerakan dan letak tubuh, perhatkian adanya masalah penglihatan
c. Observasi repon perilaku
d. Hilangkan suara bising / stimulus ang berlebihan
e. Berikan stimulus yang berlebihan seperti verbal, penghidu, taktil, pendengaran, hindari isolasi secara fisik dan psikologis
Kolaborasi :
f. pemberian obat supositoria gna mempermudah proses BAB
g. konsultasi dengan ahli fisioterapi / okupasi
4. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler ditandai dengan ketidakmampuan untuk bergerak sesuai keinginan ; paralise, atrofi otot dan kontraktur.
Kriteria hasil : mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tidak adanya kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit / kompensasi, mendemonstrasikan tehnik / perilaku yang memungkinkan melakuakn kembali aktivitas
Intervensi :
a. Kaji rasa nyeri, kemerahan, bengkak, ketegangan otot jari.
b. Berikan suatu alat agar pasien mampu untuk meminta pertolongan , seperti : bel atau lampu pemanggil
c. Bantu / lakukan latihan ROM pada semua ekstremitas dan sendi, pakailah gerakan perlahan dan lembut. Lakukan hiperekstensi pada paha secara teratur
d. Letakkan tangan dalam posisi kedalam ( melipat )
e. Tinggikan ekstremitas bawah beberapa saat sewaktu duduk atau angkat kaki
f. Buat rencana aktivitas untuk pasin sehingga pasien dapat beristirahat tanpa terganggu
g. Berikan posisi alih baring setiap 2 jam
h. Monitor tanda-tanda vital
i. Konsultasikan dengan ahli fisioterapi
5. Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas b.d kerusakan neurovaskuler, kerusakan kognitif.
Kriteria hasil: pasien dapat dipertahanakan pola nafas efektif, bebas sianosis, dengan GDA dan tanda-tanda vital dalam batas normal, bunyi nafas jelas saat dilakukan auskultasi, tidak terdapat tanda distress pernafasan
Intervensi :
a. Kaji dan catat perubahan frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan
b. Auskultasi bunyi pernafasan
c. Angkat kepala tempat tidur sesuai atuiran / posisi miring sesuai indikasi
d. Anjurkan utuk bernapas dalam, jika pasien sadar
e. Kaji kemampuan dan kualitas batuk
f. Monitor tanda-tanda vital
g. Waspada bahwa trakeostomie mungkundilakukan bila ada indikasi
h. Lakukan penghisapan lendir dengan hati hati jangan lebih dari 10 – 15 detik, catat karakter warna, kekentalan dan kekeruhan sekret
i. Pantau pengguanaan obat obatan depresan seperti sedatif
j. Berikan O2 sesuai indikasi
k. Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi
SUMBER PUSTAKA
Long C, Barbara. Perawatan Medikal Bedah. Volume 2. Bandung: Yayasan IAPK Pajajaran; 1996
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8.Volume 3. Jakarta : EGC; 2002
Padmosantjojo, R.M, Keperawatan bedah saraf, bagian bedah saraf, FKUI, 2000
Brunner & Sudarth, 2003, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed 8 Vol 3 , EGC, jakarta
Lynda Juall Carpenito, Alih bahasa Yasmin Asih, 1997, Diagnosa Keperawatan , ed 6, EGC, Jakarta
Marilyn E. Doenges, et al, 1997, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, jakarta
Sylvia A. Price, Alih bahasa Adji Dharma, 1995 Patofisiologi, konsep klinik proses- proses penyakit ed. 4, EGC, Jakarta
READ MORE - TUMOR MEDULA SPINALIS

Askep Neoplasma pada Perkemihan

A. RENAL KARSINOMA
Tumor renal karsinoma maligna terutama adenocarcinoma menduduki 2% dari semua kanker. Tumor renal maligna yang kecil (adenoma) bisa timbul tanpa membawa kerusakan yang jelas atau menimbulkan berbagai gejala. Carcinoma sel-sel ginjal jarang timbul sebelum orang berusia 40 tahun, lebih sering berjangkit pada usia 50 tahun samapi 70 tahun, terjadi lebih banyak pada pria daripada wanita.
Hematuria merupakan gejala yang paling lumrah pada carcinoma sel-sel renal. Hematuri yang intermitten mengurangi kepedulian orang untuk mencari pertolongan. Setiap orang yang mengalami hematuria harus menjalani pemeriksaan urologi yang lengkap, karena lebih dini diketahui maka peluang sembuh akan lebih bersih. Gejala-gejala lain terdiri dari rasa nyeri tumpul pada bagian pinggir badan, berat badan turun, demam, polycytemia. Mungkin timbul hipertensi karena dampak stimulasi sistem renin angiotensin.
IVP akan memperlihatkan ketidakserasian tepi-tepi ginjal dan memberi gambaran adanya dugaan tumor ginjal. Tumor kecil pada parenkhim tidak akan jelas, tapi bisa diperjelas dengan CT scan. Ct scan juga penting untuk membuat diferensiasi carcinoma sel-sel ginjal dan kista renal. Angiografi juga bisa dikerjakan untuk diferensiasi kista dengan tumor.
Kecuali pada orang yang berisiko jelek untuk bedah atau telah timbul metastase hebat, ginjal dapat diangkat (nefrektomi) dengan cara transabdominal, thoraco abdominal atau retroperitoneal. Yang pertama merupakan yang paling sering dipilih agar menjamin arteri dan vena renal tetap aman dan sebagai pencegahan penyebaran sel kanker ganas.
Setelah bedah tumor maligna diteruskan dengan sensitifitas radigrafi, biasanya pasien mendapatkan serangkaian therapi sinar X. Untuk pengobatan ini tidak perlu hospitalisasi. Radiasi juga dilakukan untuk daerah metastase sebagai pengobatan paliatif bagi mereka yang tidak mungkin bisa dibedah.
Kemotherapi belum memperlihatkan mutu pada pengobatan carcinoma sel-sel kanker. Angka pasien yang bisa tertolong setelah pengobatan tergantung kepada gawatnya metastase. Angka pulih kembali setelah 10 tahun sangat rendah, terutama karena kebanyakan orang tidak berobat pada tingkat dini dan menunggu sampai penyakit sudah sangat lanjut.
B. KARSINOMA KANDUNG KEMIH
Yang paling sering dijangkiti kanker dari alat perkemihan adalah kandung kemih. Kanker kandung kemih terjadi tiga kali lebih banyak pada pria dibandingkan dengan pada wanita, dan tumor-tumor multipel juga lebih sering, kira-kira 25% pasien mempunyai lebih dari satu lesi pada satu kali dibuat diagnosa.
Pada tiga dasawarsa terakhir, kasus kandung kemih pada pria meningkat lebih dari 20 % sedangkan kasus pada wanita berkurang 25%. Faktor predisposisi yang diketahui dari kanker kandung kemih adalah karena bahan kimia betanaphytilamine dan xenylamine, infeksi schistosoma haematobium dan merokok.
Tumor dari kandung kemih berurutan dari papiloma benigna sampai ke carcinoma maligna yang invasif. Kebanyakan neoplasma adalah jenis sel-sel transisi, karena saluran kemih dilapisi epithelium transisi. Neoplasma bermula seperti papiloma, karena itu setiap papiloma dari kandung kemih dianggap pramalignansi dan diangkat bila diketahui. Karsinoma sel-sel squamosa jarang timbul dan prognosanya lebih buruk. Neoplasma yang lain adalah adenocarcinoma.
Kanker kandung kemih dibagi tingkatannya berdasarkan kedalaman tingkat invasifnya yaitu : tingkat O Mukosa, tingkat A Sub Mukosa, Tingkat B Otot, Tingkat C Lemak Perivisial, Tingkat D Kelenjar Limfe.
Hematuria yang tidak disertai rasa nyeri adalah gejala pertamanya pada kebiasaan tumor kandung kemih. Biasanya intermitten dan biasanya individu gagal untuk minta pertolongan. Hematuria yang tidak disertai rasa nyeri terjadi juga pada penyakit saluran kemih yang non malignant dan kanker ginjal karena itu tiap terjadi hematuri harus diteliti. Cystitis merupakan gejala dari tumor kandung kemih, karena tumor merupakan benda asing di dalam kandung kemih.
Pemeriksaan cytologi urine dapat memperkenalkan sel-sel maligna sebelum lesi dapat divisualisasikan dengan cystoscopy yang disertai biopsi. Penentuan klinis mengenai tingkatan invasif dari tumor penting dalam menentukan regimen terapi dan dalam pembuatan prakiraan prognose. Tiap orang yang pernah menjalani pengangkatan papilomma harus menjalani pemeriksaan cystoscopy tiap tiga bulan untuk selama dua tahun dan kemudian intervalnya sedikit dijarangkan bila tidak ada tanda-tanda lesi yang baru. Keperluan pemeriksaan yang sering harus dijelaskan oleh ahli urologi dan harus diperkuat oleh perawat.
Tumor-tumor kecil yang sedikit menjangkiti lapisan jaringan dapat ditolong dengan sempurna dengan fulgurisasi transuretra atau dieksisi. Foley kateter biasanya dipasang setelah pembedahan. Air kemih berwarna kemerahan tetapi tidak terjadi perdarahan gross. Rasa panas saat berkemih dapat diatasi dengan minum yang banyak dan buli-buli hangat pada daerah kandung kemih atau berendam air hangat. Pasien boleh pulang beberapa hari kemudian setelah bedah. Bila tumor tumbuh pada kubah kandung kemih harus dilaksanakan reseksi segmental dari kandung kemih. Sistektomi atau pengangkatan seluruh kandung kemih harus dilaksanakan bila penyakit sudah benart-benar ganas.

Radiasi kobalt eksternal terhadap tumor yang invasif sering dilakukan sebelum bedah untuk memperlambat pertumbuhan. Radiasi supervoltase dapat diberikan kepada pasien yang fisikinya tidak kuat menghadapai bedah. Radiasi bukan kuratif dan mutunya hanya sedikit dalam pengelolaan bila tumor tidak mungkin bisa dioperasi. Radiasi internal jarang dipakai karena efeknya yang berbahaya.
Chemotherapy merupakan paliatif. 5- Fluorouracil (5-FU) dan doxorubicin (adriamycin) merupakan bahan yang paling sering dipakai. Thiotepa dapat diamsukkan ke dalam kandung kemih sebagai pengobatan topikal. Pasien dibiarkan menderita dehidrasi 8 sampai 12 jam sebelum pengobatan dengan theotipa dan obat diabiarkan dalam kandung kemih selama dua jam.

C. KARSINOMA PROSTAT
Karsinoma prostat ditemukan secara kebetulan pada waktu prostatektomi, sesudah dilakukan pemerikasaan patologi anatomik. Karsinoma prostat perlu dicurigai bila pada rectal toucher teraba benjolan-benjolan yang keras (indurasi pada satu atau beberapa tempat). Biasanya di lobus posterior. Seringkali penderita datang karena adanya hematuria gross. Hal ini mungkin karena proses penjalaran karsinoma ke arah lumen uretra dan menimbulkan ulcerasi disitu sehingga terjadi perdararahan. Diagnosis diferensialnya adalag batu prostat, TBC prostat, prostatitis kronik. Untuk membedakannya perlu dilakukan biopsi jarum.
Therapi yang umum digunakan adalah triple therapy yaitu prostatektomy, orkidektomy sub kapsuler dan pemberian hormon estrogen.
Kelenjar prostat merupakan tempat yang kedua pada pria untuk pertumbuhan kanker. Terdapat faktor keluarga untuk pertumbuhan penyakit ini. Kanker prostat bertanggung jawab atas 10% dari seluruh jumlah angka kematian pria. Jarang terjadi sebelum usia 50 tahun dan angka semakin meningkat seiring peningkatan usia. Lebih muda penderita terserang, lebih lethal penyakit ini. Walaupun kanker bisa dimulai dimana saja pada kelenjar prostat dan bermulti fokal sumbernya biasanya timbul pada lobus perifer sehingga timbul pada lobus perifer sehingga timbul nodul yang dapat diraba. Deteksi dini pada waktu palpasi memungkinkan pengobatan yang dini juga dan dapat memperbaiki prognosa. Karena alasan tersebut semua pria harus menjalani pemeriksaan rektal tiap tahun.
Kanker prostat biasanya dimulai dengan perubahan pola berkemih, frekuensi, desakan, nokturia akibat membesarnya ukuran kelenjar yang mendesak uretra. Obstruksi uretra yang lengkap dapat terjadi. Hematuria dapat berkembang menjadi anemia.
DIAGNOSA KEPERAWATAN & TINDAKAN PADA PASIEN DENGAN KANKER SALURAN KEMIH
1. Cemas / takut berhubungan dengan situasi krisis (kanker), perubahan kesehatan, sosio ekonomi, peran dan fungsi, bentuk interaksi, persiapan kematian, pemisahan dengan keluarga ditandai dengan peningkatan tegangan, kelelahan, mengekspresikan kecanggungan peran, perasaan tergantung, tidak adekuat kemampuan menolong diri, stimulasi simpatetik.
Tujuan :
- Pasien dapat mengurangi rasa cemasnya
- Rileks dan dapat melihat dirinya secara obyektif
- Menunjukkan koping yang efektif serta mampu berpartisipasi dalam pengobatan
Tindakan :
- Tentukan pengalaman pasien sebelumnya terhadap penyakit yang dideritanya
- Berikan informasi tentang prognosis secara akurat
- Beri kesempatan pada klien untuk mengekspresikan rasa marah, takut, konfrontasi. Beri informasi dengan emosi wajar dan ekspresi yang sesuai
- Jelaskan pengobatan, tujuan dan efek samping. Bantu pasien mempersiapkan diri dalam pengobatan
- Catat koping yang tidak efektif seperti kurang interaksi sosial, ketidak berdayaan dll
- Anjurkan untuk mengembangkan interaksi dengan support system
- Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman
- Pertahankan kontak dengan pasien, bicara dan sentuhlah dengan wajar.
2. Nyeri (akut) berhubungan dengan proses penyakit (penekanan/kerusakan jaringan syaraf, infiltrasi sistem suplay syaraf, obstruksi jalur syaraf, inflamasi), efek samping therapi kanker ditandai dengan pasien mengatakan nyeri, pasien sulit tidur, tidak mampu memusatkan perhatian, ekspresi nyeri, kelemahan.
Tujuan :
- Pasien mampu mengontrol rasa nyeri melalui aktivitas
- Melaporkan nyeri yang dialaminya
- Mengikuti program pengobatan
- Mendemontrasikan tehnik relaksasi dan pengalihan rasa nyeri melalui aktivitas yang mungkin
Tindakan :
- Tentukan riwayat nyeri, lokasi, durasi dan intensitas
- Evaluasi therapi : pembedahan, radiasi, khemotherapi, biotherapi, ajarkan pasien dan keluarga tentang cara menghadapinya
- Berikan pengalihan seperti reposisi dan aktivitas menyenangkan seperti mendengarkan musik atau nonton TV
- Menganjurkan tehnik penanganan stress (tehnik relaksasi, visualisasi, bimbingan), gembira, dan berikan sentuhan therapeutik.
- Evaluasi nyeri, berikan pengobatan bila perlu.
Kolaboratif
- Disusikan penanganan nyeri dengan dokter dan juga dengan pasien
- Berikan analgetik sesuai indikasi seperti morfin, methadone, narcotik dll
3. Gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan hipermetabolik yang berhubungan dengan kanker, konsekwensi khemotherapi, radiasi, pembedahan (anoreksia, iritasi lambung, kurangnya rasa kecap, nausea), emotional distress, fatigue, ketidakmampuan mengontrol nyeri ditandai dengan pasien mengatakan intake tidak adekuat, hilangnya rasa kecap, kehilangan selera, berat badan turun sampai 20% atau lebih dibawah ideal, penurunan massa otot dan lemak subkutan, konstipasi, abdominal cramping.
Tujuan :
- Pasien menunjukkan berat badan yang stabil, hasil lab normal dan tidak ada tanda malnutrisi
- Menyatakan pengertiannya terhadap perlunya intake yang adekuat
- Berpartisipasi dalam penatalaksanaan diet yang berhubungan dengan penyakitnya
Tindakan :
- Monitor intake makanan setiap hari, apakah pasien makan sesuai dengan kebutuhannya
- Timbang dan ukur berat badan, ukuran triceps serta amati penurunan berat badan
- Kaji pucat, penyembuhan luka yang lambat dan pembesaran kelenjar parotis
- Anjurkan pasien untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori dengan intake cairan yang adekuat. Anjurkan pula makanan kecil untuk pasien.
- Kontrol faktor lingkungan seperti bau busuk atau bising. Hindarkan makanan yang terlalu manis, berlemak dan pedas.
- Ciptakan suasana makan yang menyenangkan misalnya makan bersama teman atau keluarga
- Anjurkan tehnik relaksasi, visualisasi, latihan moderate sebelum makan
- Anjurkan komunikasi terbuka tentang problem anoreksia yang dialami pasien
Kolaboratif
- Amati study laboraturium seperti total limposit, serum transferin dan albumin
- Berikan pengobatan sesuai indikasi
Phenotiazine, antidopaminergic, corticosteroids, vitamins khususnya A,D,E dan B6, antacida
- Pasang pipa nasogastrik untuk memberikan makanan secara enteral, imbangi dengan infus.
4. Kurangnya pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi, misinterpretasi, keterbatasan kognitif ditandai dengan sering bertanya, menyatakan masalahnya, pernyataan miskonsepsi, tidak akurat dalam mengikiuti intruksi/pencegahan komplikasi.
Tujuan :
- Pasien dapat mengatakan secara akurat tentang diagnosis dan pengobatan pada tingkatan siap
- Mengikuti prosedur dengan baik dan menjelaskan tentang alasan mengikuti prosedur tersebut
- Mempunyai inisiatif dalam perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam pengobatan
- Bekerjasama dengan pemberi informasi
Tindakan :
- Review pengertian pasien dan keluarga tentang diagnosa, pengobatan dan akibatnya
- Tentukan persepsi pasien tentang kanker dan pengobatannya, ceritakan pada pasien tentang pengalaman pasien lain yang menderita kanker
- Beri informasi yang akurat dan faktual. Jawab pertanyaan secara spesifik, hindarkan informasi yang tidak diperlukan
- Berikan bimbingan kepada pasien/keluarga sebelum mengikuti prosedur pengobatan, therapy yang lama, komplikasi. Jujurlah pada pasien.
- Anjurkan pasien untuk memberikan umpan balik verbal dan mengkoreksi miskonsepsi tentang penyakitnya
- Review pasien /keluarga tentang pentingnya status nutrisi yang optimal
- Anjurkan pasien untuk mengkaji membran mukosa mulut secara rutin, perhatikan adanya eritema, ulcerasi
- Anjurkan pasien memelihara kebersihan kulit dan rambut
5. Resiko tinggi kerusakan membran mukosa mulut berhubungan dengan efek samping kemotherapi dan radiasi/radiotherapi
Tujuan :
- Membrana mukosa tidak menunjukkan kerusakan, terbebas dari inflamasi dan ulcerasi
- Pasien mengungkapkan faktor penyebab secara verbal
- Pasien mampu mendemontrasikan tehnik mempertahankan/menjaga kebersihan rongga mulut
Tindakan :
- Kaji kesehatan gigi dan mulut pada saat pertemuan dengan pasien dan secara periodik
- Kaji rongga mulut setiap hari, amati perubahan mukosa membran. Amati tanda terbakar di mulut, perubahan suara, rasa kecap, kekentalan ludah
- Diskusikan dengan pasien tentang metode pemeliharan oral hygine
- Intruksikan perubahan pola diet misalnya hindari makanan panas, pedas, asam, hindarkan makanan yang keras
- Amati dan jelaskan pada pasien tentang tanda superinfeksi oral
Kolaboratif
- Konsultasi dengan dokter gigi sebelum kemotherapi
- Berikan obat sesuai indikasi
Anagetik, topikal lidocaine, antimikrobial mouthwash preparation.
- Kultur lesi oral
6. Resiko tinggi kurangnya volume cairan berhubungan dengan output yang tidak normal (vomiting, diare), hipermetabolik, kurangnya intake
Tujuan :
Pasien menunjukkan keseimbangan cairan dengan tanda vital normal, membran mukosa normal, turgor kulit bagus, capilarry ferill normal, urine output normal.
Tindakan :
- Monitor intake dan output termasuk keluaran yang tidak normal seperti emesis, diare, drainse luka. Hitung keseimbangan selama 24 jam.
- Timbang berat badan jika diperlukan
- Monitor vital signs. Evaluasi pulse peripheral, capilarry refil
- Kaji turgor kulit dan keadaan membran mukosa. Catat keadaan kehausan pada pasien
- Anjurkan intake cairan samapi 3000 ml per hari sesuai kebutuhan individu
- Observasi kemungkinan perdarahan seperti perlukaan pada membran mukosa, luka bedah, adanya ekimosis dan pethekie
- Hindarkan trauma dan tekanan yang berlebihan pada luka bedah
Kolaboratif
- Berikan cairan IV bila diperlukan
- Berikan therapy antiemetik
- Monitor hasil laboratorium : Hb, elektrolit, albumin
7. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh sekunder dan sistem imun (efek kemotherapi/radiasi), malnutrisi, prosedur invasif
Tujuan :
- Pasien mampu mengidentifikasi dan berpartisipasi dalam tindakan pecegahan infeksi
- Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi dan penyembuhan luka berlangsung normal
Tindakan :
- Cuci tangan sebelum melakukan tindakan. Pengunjung juga dianjurkan melakukan hal yang sama
- Jaga personal hygine pasien secara baik
- Monitor temperatur
- Kaji semua sistem untuk melihat tanda-tanda infeksi
- Hindarkan/batasi prosedur invasif dan jaga aseptik prosedur
Kolaboratif
- Monitor CBC, WBC, granulosit, platelets
- Berikan antibiotik bila diindikasikan
8. Resiko tinggi gangguan fungsi seksual berhubungan dengan deficit pengetahuan/keterampilan tentang alternatif respon terhadap transisi kesehatan, penurunan fungsi/struktur tubuh, dampak pengobatan.
Tujuan :
- Pasien dapat mengungkapkan pengertiannya terhadap efek kanker dan therapi terhadap seksualitas
- Mempertahankan aktivitas seksual dalam batas kemampuan
Tindakan :
- Diskusikan dengan pasien dan keluarga tentang proses seksualitas dan reaksi serta hubungannya dengan penyakitnya
- Berikan advise tentang akibat pengobatan terhadap seksualitas
- Berikan privacy kepada pasien dan pasangannya. Ketuk pintu sebelum masuk.

9. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan efek radiasi dan kemotherapi, deficit imunologik, penurunan intake nutrisi dan anemia.
Tujuan :
- Pasien dapat mengidentifikasi intervensi yang berhubungan dengan kondisi spesifik
- Berpartisipasi dalam pencegahan komplikasi dan percepatan penyembuhan
Tindakan :
- Kaji integritas kulit untuk melihat adanya efek samping therapi kanker, amati penyembuhan luka.
- Anjurkan pasien untuk tidak menggaruk bagian yang gatal
- Ubah posisi pasien secara teratur
- Berikan advise pada pasien untuk menghindari pemakaian cream kulit, minyak, bedak tanpa rekomendasi dokter

D. HIPERTROPI PROSTAT
Istilah ini sebenarnya salah, karena kelenjar prostat tidak mengalami hipertrofi. Yang didapat sebenarnya hiperplasia dari kelenjar periuretral. Kelenjar ini mendesak kelenjar prostat sehingga lama-lama menjadi gepeng dan disebut sebagai kapsul prostat. Untuk mengukur besarnya hipertrofi prostat dapat dipakai pengukuran rectal grading, clinical grading dan intra uretral grading.
Biasanya penyakit ini ditemukan pada pria berusia diatas 50 tahun, dan penyakit ini menyebabkan berbagai macam gangguan obstruksi uretra dan rstriksi aliran urine. Pada fase awal umumnya pasien akan mengeluh kencing terasa tidak puas, pancarannya melemah, nokturia. Pada fase selanjutnya pasien akan merasa panas saat berkemih, dysuria, nokturia tambah hebat dan kemudian pada fase lanjut buli-buli akan penuh, over flow incontinence, pasien menggigil kadang-kadang sampai koma.
DIAGNOSA KEPERAWATAN & TINDAKAN
1. Retensi urine (akut/kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik : pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan bladder berkontraksi ditandai dengan frequency, hesistansi, ketidakmampuan mengosongkan bladder, inkontinensia, distensi bladder, adanya residu urine.
Tujuan :
- Berkemih lancar tanpa terjadi distensi bladder
- Residu urine kurang dari 50 ml tanpa adanya overflow.
Tindakan :
- Anjurkan pasien untuk berkemih setiap 2 – 4 jam dan bila sudah penuh
- Informasikan kepada pasien tentang stress inkontinensia
- Observasi pancaran urine, amati ukuran dan kekuatannya
- Monitor dan catat waktu serta jumlah saat berkemih. Amati menurunnya output urine dan perubahan pancaran
- Perkusi/palpasi area suprapubik
- Anjurkan minum sampai 3000 ml setiap hari bila tidak terdapat intolenransi jantung
- Monitor vital signs. Observasi hipertensi, peripheral/dependen oedema. Berat badan diukur setiap hari dan pertahankan intake dan output secara akurat
- Berikan perawatan cateter dan perineal
- Berikan rendaman duduk sesuai indikasi
Kolaboratif
- Berikan pengobatan sesuai indikasi
Antispasmodik misalnya oxybutynin chloride, rectal suppositoria, antibiotik dan antimikrobial, phenoxybenzamine.
- Kateterisasi urine atau pasang kateter foley sesuai indikasi
- Monitor hasil laboratorium sperti BUN, Creatinine, Elektrolite, urinalisis dan kultur.

2. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa : distensi bladder, renal colic, infeksi saluran kemih, therapi radiasi ditandai dengan pasien menyatakan nyeri (bladder/rectal), penurunan tonus otot, grimase, distraksi, kelelahan, respon otonomik.
Tujuan :
- Nyeri berkurang atau terkontrol
- Pasien merasa rileks
- Pasien dapat tidur dan beristirahat dengan tenang
Tindakan :
- Kaji nyeri, amati lokasi dan intensitasnya (skala 0 – 10), durasi
- Pertahankan bedrest jika diindikasikan
- Pertahankan rasa nyaman pada pasien misalnya menolong pasien mencari posisi yang nyaman, menganjurkan tehnik relaksasi/nafas dalam serta aktivitas diversional
- Anjurkan rendaman duduk
Kolaboratif
- Lakukan kateterisasi untuk drainase urine
- Lakukan masase prostat
- Berikan pengobatan sesuai indikasi
Narkotik (meperidine), antibakterial (methenamine hippurate), antispasmodik dan sedative bladder.
3. Resiko tinggi deficit volume cairan berhubungan dengan diuresis postobstruktive dari drainase, endokrin, ketidakseimbangan elektrolit (disfungsi renal)
Tujuan :
Mempertahankan hidrasi secara adekuat yang ditandai vital signs stabil, pulse periferal teraba, capilary refill baik, dan mukosa membran yang normal.
Tindakan :
- Monitor output secara hati-hati, setiap jam bila diindikasikan.
- Anjurkan pasien meningkatkan intake oral sesuai kebutuhan individual
- Monitor tekanan darah dan denyut nadi secara teratur. Evaluasi kapilary refill dan membran mukosa mulut.
- Berikan bedrest dengan kepala ditinggikan
Kolaboratif
- Monitor elektrolit, khususnya sodium
- Berikan cairan IV (hipertonik saline) jika diperlukan

4. Cemas / Takut berhubungan dengan perubahan status kesehatan : pada prosedur bedah, kehilangan kepercayaan diri terhadap kemampuan seksual ditandai dengan peningkatan ketegangan, keragu-raguan, mencemaskan konsekwensi yang tidak logis.
Tujuan :
- Pasien dapat rileks
- Mengungkapkan informasi yang akurat tentang keadaannya
- Menunjukkan penurunan kecemasan & ketakutan
Tindakan :
- Berikan perhatian kepada pasien, ciptakan hubungan saling percaya dengan pasien dan support person.
- Berikan informasi tentang prosedur spesifik, kateterisasi, urine berdarah, iritasi bladder. Berikan informasi sesuai kebutuhan pasien.
- Informasikan sebelum melakukan prosedur dan pertahankan privacy pasien
- Anjurkan pasien dan keluarga mengungkapkan perasaannya

5. Deficit pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya kemampuan menangkap informasi, misinterpretasi, tidak terbiasa dengan sumber informasi ditandai dengan pasien bertanya-tanya, mengungkapkan problemnya secara verbal/nonverbal, tidak akurat dalam mengikuti intruksi.
Tujuan :
- Pasien dapat mengungkapkan pengertian terhadap proses penyakit dan prognosa
- Mengidentifikasi tanda dan gejala yang berhubungan dengan penyakitnya
- Mempunyai inisiatif perubahan gaya hidup yang menunjang penyembuhan penyakitnya
- Berpartisipasi dalam pengobatan dan perawatan
Tindakan :
- Review proses penyakit, prognosa, tanda dan gejala serta pengobatannya
- Anjurkan pasien untuk mengungkapkan kecemasan dan tingkat perhatian terhadap penyakitnya
- Beri informasi bahwa penyakitnya tidak menular melalui hubungan seksual
- Rekomendasikan kepada pasien untuk menghindari makanan pedas, kopi, alkohol, mengendarai sepeda motor dalam jangka waktu lama.
- Berikan informasi tentang hubungan seks, hindari pada fase akut tetapi akan lebih baik pada fase kronik.
- Dukung pasien untuk mengikuti pengobatan secara teratur termasuk latihan rectal dan urinalisis.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (1999). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarata.
Carpenito, Lynda Juall. (2000.). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2, (terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius.
(1994). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Bedah. Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo Surabaya
READ MORE - Askep Neoplasma pada Perkemihan

Askep Peritonitis


A. DEFINISI
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam rongga perut.
Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar fibroelastik. Terbagi menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fasia muskularis.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri.
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri.
Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah.
Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum).
 B. ANATOMI
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea alba.
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium.
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura. Dengan demikian baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan usus dengan dinding ventral dan dinding dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat penggantung usus yang disebut mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventrale dan mesenterium dorsale. Mesenterium vebtrale yang terdapat pada sebelah kaudal pars superior duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan mesenterium ventrale yang masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium setinggi ventrikulus disebut mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale. Pada waktu perkembangan dan pertumbuhan, ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus atau enteron pada suatu tempat berhubungan dengan umbilicus dan saccus vitellinus. Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus omphaloentericus.
Usus tumbuh lebih cepat dari rongga sehingga usus terpaksa berbelok-belok dan terjadi jirat-jirat. Jirat usus akibat usus berputar ke kanan sebesar 270 ° dengan aksis ductus omphaloentericus dan a. mesenterica superior masing-masing pada dinding ventral dan dinding dorsal perut. Setelah ductus omphaloentericus menghilang, jirat usus ini jatuh kebawah dan bersama mesenterium dorsale mendekati peritonium parietale. Karena jirat usus berputar bagian usus disebelah oral (kranial) jirat berpindah ke kanan dan bagian disebelah anal (kaudal) berpindah ke kiri dan keduanya mendekati peritoneum parietale.
Pada tempat-tempat peritoneum viscerale dan mesenterium dorsale mendekati peritoneum dorsale, terjadi perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung lagi, dan sekarang terletak disebelah dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietale, disebut terletak intraperitoneal. Rongga tersebut disebut cavum peritonei.. dengan demikian:
o Duodenum terletak retroperitoneal;
o Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium;
o Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
o Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung disebut mesocolon transversum;
o Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung mesosigmoideum; cecum terletak intraperitoneal;
o Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium.
Di berbagai tempat, perlekatan peritoneum viscerale atau mesenterium pada peritoneum parietale tidak sempurna, sehingga terjadi cekungan-cekungan di antara usus (yang diliputi oleh peritoneum viscerale) dan peritoneum parietale atau diantara mesenterium dan peritoneum parietale yang dibatasi lipatan-lipatan. Lipatan-lipatan dapat juga terjadi karena di dalamnya berjalan pembuluh darah. Dengan demikian di flexura duodenojejenalis terdapat plica duodenalis superior yang membatasi recessus duodenalis superior dan plica duodenalis inferior yang membatasi resesus duodenalis inferior.
Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon sigmoideum terdapat recessus intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan mesosigmoideum.
Stratum circulare coli melipat-lipat sehingga terjadi plica semilunaris. Peritoneum yang menutupi colon melipat-lipat keluar diisi oleh lemak sehingga terjadi bangunan yang disebut appendices epiploicae.
Dataran peritoneum yang dilapisis mesotelium, licin dan bertambah licin karena peritoneum mengeluiarkan sedikit cairan. Dengan demikian peritoneum dapat disamakan dengan stratum synoviale di persendian. Peritoneum yang licin ini memudahkan pergerakan alat-alat intra peritoneal satu terhadap yang lain. Kadang-kadang , pemuntaran ventriculus dan jirat usus berlangsung ke arah yang lain. Akibatnya alat-alat yang seharusnya disebelah kanan terletak disebelah kiri atau sebaliknya. Keadaan demikian disebut situs inversus. 13
 C. ETIOLOGI
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.
 D. PATOFISOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
 E. KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Peritonitis bakterial primer.
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Streptococus atau Pneumococus. Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
2. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis.
3. Peritonitis non bakterial akut
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
d. Peritonitis bakterial kronik (tuberkulosa)
Secara primer dapat terjadi karena penyebaran dari fokus di paru, intestinal atau tractus urinarius.
4. Peritonitis non bakterial kronik (granulomatosa)
Peritoneum dapat bereaksi terhadap penyebab tertentu melaluii pembentukkan granuloma, dan sering menimbulkan adhesi padat. Peritonitis granulomatosa kronik dapat terjadi karena talk (magnesium silicate) atau tepung yang terdapat disarung tangan dokter. Menyeka sarung tangan sebelum insisi, akan mengurangi masalah ini.

F. MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
 G. DIAGNOSIS
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.
1. Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah. 5
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang meningkat dan asidosis metabolik.
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat. 5
3. Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi.
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : (rasad)
1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior (AP ).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP.
Gambaran radiologis pada peritonitis secara umum yaitu adanya kekaburan pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
 H. TERAPI
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
 I. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu : (chushieri)
1. Komplikasi dini
o Septikemia dan syok septic
o Syok hipovolemik
o Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi system
o Abses residual intraperitoneal
o Portal Pyemia (misal abses hepar)
2. Komplikasi lanjut
o Adhesi
o Obstruksi intestinal rekuren
DAFTAR PUSTAKA
 1. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.
2. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
3. Way. L. W., 1998, Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment, 7th Ed., Maruzen, USA.
4. Wilson. L. M., Lester. L .B., 1995, Usus kecil dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, alih bahasa dr. Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
5. Schrock. T. R., 2000, Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
6. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 1999, Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik, p 256-257, Gaya Baru, jakarta.
7. Schwartz. S. J., Shires. S. T. S., Spencer. F.C., 2000, Peritonitis dan Abces Intraabdomen dalam Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Ed.6, alih bahasa dr. Laniyati, EGC, Jakarta.
8. Dahlan. M., Jusi. D., Sjamsuhidajat. R., 2000, Gawat Abdomen dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
9. Putz.R., Pabst.R., 1997, Sobotta, Atlas Anatomi Manusia, EGC, Jakarta
10. Hoyt. D. B., Mackersie. R. C., 1988, Abdominal Injuries in Essential Surgical Practice, 2nd Ed, John Wright, Bristol.
11. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Dinding Perut, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 696, EGC, Jakarta.
12. Anonim, 2002, Abdomen, Bagian Anatomi FK UGM, Yogyakarta
13. Darmawan. M., 1995, Peritonitis dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, FKUI, Jakarta
READ MORE - Askep Peritonitis

Askep Trauma Abdomen


A. PENGERTIAN
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional (Dorland, 2002).
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker, 2001).
Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 1995).
 B. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : luka tusuk, luka tembak.
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
Disebabkan oleh : pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt) (FKUI, 1995).
 C. PATOFISIOLOGI
Tusukan/tembakan ; pukulan, benturan, ledakan, deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set-belt)-Trauma abdomen- :
1. Trauma tumpul abdomen
• Kehilangan darah.
• Memar/jejas pada dinding perut.
• Kerusakan organ-organ.
• Nyeri
• Iritasi cairan usus
2. Trauma tembus abdomen
• Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
• Respon stres simpatis
• Perdarahan dan pembekuan darah
• Kontaminasi bakteri
• Kematian sel
1 & 2 menyebabkan :
 Kerusakan integritas kulit
 Syok dan perdarahan
 Kerusakan pertukaran gas
 Risiko tinggi terhadap infeksi
 Nyeri akut
(FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta)
 D. TANDA DAN GEJALA
1. Trauma tembus (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga peritonium) :
 Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
 Respon stres simpatis
 Perdarahan dan pembekuan darah
 Kontaminasi bakteri
 Kematian sel
2. Trauma tumpul (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga peritonium).
 Kehilangan darah.
 Memar/jejas pada dinding perut.
 Kerusakan organ-organ.
 Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
 Iritasi cairan usus (FKUI, 1995).
 E. KOMPLIKASI
 Segera : hemoragi, syok, dan cedera.
 Lambat : infeksi (Smeltzer, 2001).
 F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 Pemeriksaan rektum : adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar ; kuldosentesi, kemungkinan adanya darah dalam lambung ; dan kateterisasi, adanya darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
 Laboratorium : hemoglobin, hematokrit, leukosit dan analisis urine.
 Radiologik : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi.
 IVP/sistogram : hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran kencing.
 Parasentesis perut : tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut yang disertai dengan trauma kepala yang berat, dilakukan dengan menggunakan jarum pungsi no 18 atau 20 yang ditusukkan melalui dinding perut didaerah kuadran bawah atau digaris tengah dibawah pusat dengan menggosokkan buli-buli terlebih dahulu.
 Lavase peritoneal : pungsi dan aspirasi/bilasan rongga perut dengan memasukkan cairan garam fisiologis melalui kanula yang dimasukkan kedalam rongga peritonium (FKUI, 1995).

G. PENATALAKSANAAN
 Penatalaksanaan kedaruratan ; ABCDE.
 Pemasangan NGT untuk pengosongan isi lambung dan mencegah aspirasi.
 Kateter dipasang untuk mengosongkan kandung kencing dan menilai urin yang keluar (perdarahan).
 Pembedahan/laparatomi (untuk trauma tembus dan trauma tumpul jika terjadi rangsangan peritoneal : syok ; bising usus tidak terdengar ; prolaps visera melalui luka tusuk ; darah dalam lambung, buli-buli, rektum ; udara bebas intraperitoneal ; lavase peritoneal positif ; cairan bebas dalam rongga perut) (FKUI, 1995).
 H. MANAJEMEN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994).
Pengkajian pasien trauma abdomen (Smeltzer, 2001) adalah meliputi :
a. Trauma Tembus abdomen
 Dapatkan riwayat mekanisme cedera ; kekuatan tusukan/tembakan ; kekuatan tumpul (pukulan).
 Inspeksi abdomen untuk tanda cedera sebelumnya : cedera tusuk, memar, dan tempat keluarnya peluru.
 Auskultasi ada/tidaknya bising usus dan catat data dasar sehingga perubahan dapat dideteksi. Adanya bising usus adalah tanda awal keterlibatan intraperitoneal ; jika ada tanda iritasi peritonium, biasanya dilakukan laparatomi (insisi pembedahan kedalam rongga abdomen).
 Kaji pasien untuk progresi distensi abdomen, gerakkan melindungi, nyeri tekan, kekakuan otot atau nyeri lepas, penurunan bising usus, hipotensi dan syok.
 Kaji cedera dada yang sering mengikuti cedera intra-abdomen, observasi cedera yang berkaitan.
 Catat semua tanda fisik selama pemeriksaan pasien.
b. Trauma tumpul abdomen
 Dapatkan riwayat detil jika mungkin (sering tidak bisa didapatkan, tidak akurat, atau salah). dapatkan semua data yang mungkin tentang hal-hal sebagai berikut :
o Metode cedera.
o Waktu awitan gejala.
o Lokasi penumpang jika kecelakaan lalu lintas (sopir sering menderita ruptur limpa atau hati). Sabuk keselamatan digunakan/tidak, tipe restrain yang digunakan.
o Waktu makan atau minum terakhir.
o Kecenderungan perdarahan.
o Penyakit danmedikasi terbaru.
o Riwayat immunisasi, dengan perhatian pada tetanus.
o Alergi.
 Lakukan pemeriksaan cepat pada seluruh tubuh pasienuntuk mendeteksi masalah yang mengancam kehidupan.
 2. PENATALAKSANAAN KEDARURATAN
a. Mulai prosedur resusitasi (memperbaiki jalan napas, pernapasan, sirkulasi) sesuai indikasi.
b. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan ; gerakkan dapat menyebabkan fragmentasi bekuan pada pada pembuluh darah besar dan menimbulkan hemoragi masif.
1) Pastikan kepatenan jalan napas dan kestabilan pernapasan serta sistem saraf.
2) Jika pasien koma, bebat leher sampai setelah sinar x leher didapatkan.
3) Gunting baju dari luka.
4) Hitung jumlah luka.
5) Tentukan lokasi luka masuk dan keluar.
c. Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera abdomen, khususnya hati dan limpa mengalami trauma.
d. Kontrol perdarahan dan pertahanan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
1) Berikan kompresi pada luka perdarahan eksternal dan bendungan luka dada.
2) Pasang kateter IV diameter besar untuk penggantian cairan cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.
3) Perhatikan kejadian syoksetelah respons awal terjadi terhadap transfusi ; ini sering merupakan tanda adanya perdarrahan internal.
4) Dokter dapat melakukan parasentesis untuk mengidentifikasi tempat perdarahan.
e. Aspirasi lambung dengan selang nasogastrik. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.
f. Tutupi visera abdomen yang keluar dengan balutan steril, balutan salin basah untuk mencegah nkekeringan visera.
1) Fleksikan lutut pasien ; posisi ini mencegah protusi lanjut.
2) Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya peristaltik dan muntah.
g. Pasang kateter uretra menetap untuk mendapatkan kepastian adanya hematuria dan pantau haluaran urine.
h. Pertahankan lembar alur terus menerus tentang tanda vital, haluaran urine, pembacaan tekanan vena sentral pasien (bila diindikasikan), nilai hematokrit, dan status neurologik.
i. Siapkan untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.
j. Siapkan sinografi untuk menentukan apakah terdapat penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.
1) Jahitan dilakukan disekeliling luka.
2) Kateter kecil dimasukkan ke dalam luka.
3) Agens kontras dimasukkan melalui kateter ; sinar x menunjukkan apakah penetrasi peritonium telah dilakukan.
k. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.
l. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. trauma dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).
m. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma, eviserasi, atau hematuria.
 3. PENATALAKSANAAN DIRUANG PERAWATAN LANJUTAN
DIAGFNOSA TUJUAN INTERVENSI
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera tusuk.

Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
Kriteria Hasil :
o tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
o luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
o Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
1. Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
2. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka
3. Pantau peningkatan suhu tubuh.
4. Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptik. Balut luka dengan kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
5. Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya debridement.
6. Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
7. Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
Risiko infeksi berhubungan dengan
o tidak adekuatnya pertahanan perifer,
o perubahan sirkulasi,
o kadar gula darah yang tinggi,
o prosedur invasif dan
o kerusakan kulit. infeksi tidak terjadi / terkontrol.
 Kriteria hasil :
o tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
o luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
o Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
1. Pantau tanda-tanda vital.
2. Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
3. Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus, kateter, drainase luka,
4. Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah, seperti Hb dan leukosit.
5. Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
Nyeri akut berhubungan dengan
Trauma/diskontinuitas jaringan.
Nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
o Nyeri berkurang atau hilang
o Klien tampak tenang. 1. Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
2. Kaji tingkat intensitas dan frekwensi nyeri
3. Jelaskan pada klien penyebab dari nyeri
4. Observasi tanda-tanda vital
5. Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
kelemahan umum. Pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas.
Kriteria hasil :
o Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan diri.
o Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan beberapa aktivitas tanpa dibantu.
o Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik. 1. Rencanakan periode istirahat yang cukup.
2. Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
3. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai kebutuhan.
4. Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
Nyeri/ketidak nyamanan, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
Kriteria hasil :
o Penampilan yang seimbang.
o Melakukan pergerakkan dan perpindahan.
o Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi, dengan karakteristik :
 0 = mandiri penuh
 1 = memerlukan alat Bantu.
 2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan, pengawasan, dan pengajaran.
 3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
 4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
1. Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan peralatan.
2. Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
3. Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
4. Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
5. Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
 DAFTAR PUSTAKA
1. Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit, Jakarta.Brooker, Christine. 2001. Kamus
2. Saku Keperawatan Ed.31. EGC : Jakarta.
3. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
4. FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta
5. Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.
6. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta.
READ MORE - Askep Trauma Abdomen

 
 
 
bisnis paling gratis